CERNAK: TARAWIH Vs PETASAN




Hari ini Hamiz kembali sukses menyelesaikan puasa hari ke duanya. Ia tidak mengeluh lapar atau haus, ia menjalani puasa dengan gembira. Namun Hamiz kapok dengan kejadian kemarin, ia tidak bisa ikut tarawih berjamaah di masjid karena kekenyangan. Hari ini ia berbuka dengan lebih tenang dan santai, ia makan secukupnya.

“Ayah, boleh aku pergi duluan ke masjid?”

“Boleh, hati-hati ya!” Ayah berpesan pada Hamiz, dan tidak lupa untuk merapikan sarung dan pecinya.

Di luar rumah, beberapa teman Hamiz sudah menunggu. Mereka segera berlari ke arah masjid setelah Hamiz bergabung. Malam ini cerah, langit penuh bintang, banyak anak-anak berlarian di halaman masjid. Beberapa penjual makanan pun ada, kegembiraan terasa di sekitar lingkungan masjid.

Tiba saat Adzan isya berkumandang, anak-anak segera berlari untuk berwudu, dalam sekejap halaman masjid menjadi sepi, semua berada di dalam, melaksanakan shalat isya dan tarawih berjamaah.  Di masjid ini biasa ada kultum di antara waktu shalat isya dan shalat tarawih. Beberapa anak yang memiliki buku agenda Ramadan biasa membuat rangkuman dari isi ceramah yang disampaikan saat itu.  Hamiz dan teman-teman sebayanya yang masih duduk di TK, hanya bisa mendengar saja, mereka belum bisa menulis dengan lancar.

Usai shalat tarawih, anak-anak lari berhamburan keluar masjid. Malam yang cerah ini mereka manfaatkan untuk bermain sebelum pulang ke rumah.

“Hey, kalian, sini! Mau ikutan, gak?” Ivan memanggil Hamiz dan teman-temannya. Hamiz mengikuti Ivan ke lapangan di belakang masjid.

“Ikutan apa, Van?” tanya Andri.

“Ini …!” Ivan mengeluarkan beberapa gulungan kertas kecil bersumbu dari dalam sakunya. “Ini koreknya.”

Ternyata Ivan membawa banyak petasan. Awalnya Hamiz ragu untuk ikut main, tapi melihat banyak temannya ikut bermain, akhirnya ia pun bergabung dengan yang lain. Mereka menyalakan petasan dengan korek, melemparnya ke tengah lapang, mereka mundur dan menutup telinga. Mereka tertawa gembira setiap kali petasan yang dilempar berhasil meledak dan mengeluarkan suara yang keras. Karena banyaknya anak-anak yang bermain petasan, suara-suara ledakan itu mulai mengganggu, karena hari sudah semakin larut.

“Hey, anak-anak, berhenti main petasan, pulang semuanya, sudah malam!” seorang bapak yang tinggal di sekitar sana meminta anak-anak untuk membubarkan diri.

Beberapa anak langsung berlari pulang, sebagian masih bertahan dan melanjutkan main, hingga si bapak tadi mulai sedikit marah. Anak-anak bergerak menjauh, termasuk Hamiz, Andri, dan Lilo, mereka tidak mau kena marah atas tindakan yang mereka lakukan. Namun Ivan yang badannya besar, berhasil menahan mereka bertiga untuk tetap tinggal. Meskipun ketiganya menolak, Ivan tetap memaksa.

“Oke, ini yang terakhir deh!” kata Ivan. Ia menyalakan petasan yang agak besar dan bersumbu pendek. “yang ini pasti suaranya dahsyat!” lanjut Ivan.

Melihat ukuran petasan yang agak besar, Hamiz dan teman-teman bergerak mundur, mereka takut ini akan berbahaya.

Ivan mulai menyulut sumbu, sebelum ia melempar. Ia tunggu sumbunya terbakar lebih pendek,  agar ketika dilempar, petasan itu akan meledak di udara dan kertas pembungkusnya akan berhamburan. Namun sayan, karena apinya menjalar cepat, petasan iyu meledak ketika badu terlepas dari tangan Ivan.

“Aaaaa…. Mama….!” Ivan tiba-tiba berteriak. Petasan itu meledak tidak jauh dari dirinya, sehingga percikan ledakan mengenai beberapa bagian tubuh Ivan.

Semua yang menyaksikan kejadian itu terpekik kaget, keadaan pun menjadi panik. Kebetulan sekali Ayah Hamiz datang untuk menjemput Hamiz.

“Awas, yang lain mundur! Kalian pulang saja, sudah malam. Biar nanti in Om yang mengurusnya,” ujar Ayah Hamiz.

Ivan masih terduduk kaget dan sedikit terisak. Beberapa ujung jarinya terlihat bekas luka bakar. Baju dan sarungnya pun tampak berlubang kecil-kecil, sepertinya terkena percikan api petasan juga. Ayah Hamiz membawa Ivan ke rumah Ibu Dita, seorang bidan yang tidak jauh di sekitar masjid, untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Tidak lama kemudian ayah Ivan datang, setelah mendapat kabar dari Ayah Hamiz. Merekapun pulang ke rumah masing-masing. Melihat beberapa jari tangan Ivan dibalut perban, Hamiz merasa ngeri.

“Iiih… itu pasti sakit, ya, Yah!”

“Pasti sakit, Hamiz mau?”

“Ih, aku gak mau!”

“Makanya jangan main petasan, sehabis tarawih langsung pulang, jangan main terlalu lama.”

“Iya, tadi aku diajak Ivan untuk main petasan.”

“Kamu ikut main petasan?”

“Cuma dua kali kok, Yah, kecil-kecil juga petasannya,” jawab Hamiz.

“Yang tadi terjadi pada Ivan, bisa saja terjadi pada Hamiz. Ayah melarang Hamiz untuk main petasan lagi ya, bahaya!” nasehat ayah.

“Iya, Aku janji ga main petasan lagi,” Hamiz berjanji. Ayah mengusap kepalanya, mereka sudah hampir sampai di rumah.

“Tapi, Yah….”

“Kenapa?”

“Aku lapar lagi, sebelum sampai rumah, boleh gak aku dibeliin itu.” Hamiz menunjuk ke arah sebuah gerobak roti bakar keliling.

Ayah tersenyum, ia tahu benar kalau anak bungsunya ini gembul.  Ayah menyetujui permintaan Hamis, dan mereka pun membelikan untuk Ibu dan Teh Adel di rumah.

 

 

#RWCODOP2020 #OneDayOnePost #RWCDay2 #Ramadhan2020 #GalaksiRamadan #InspirasiRamadan #CeritaInspirasi #DDPendidikan #GemariBaca #Day2


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna