CERNAK: Pohon Jengkol di Kampung Jerman (Bagian 3)




Senin pagi, seperti biasa semua anak Kampung Jerman bersiap ke sekolah. Berangkat ke sekolah adalah hal yang menyenangkan untuk mereka. Berjalan bersama sambil bercanda. Pohon jengkol biasa menjadi titik kumpul, begitu pula hari ini.

“Hai mau coba singkong goreng ini? Ayahku yang buat.” Zahira menawarkan bekal sarapannya pada Anin dan Farhan ketika mereka berjalan menuju pohon Jengkol.

“Boleh, tapi nanti saja sambil duduk di bawah pohon, biar tidak jatuh.” Jawab Anin.

“Iya, kita kan tidak boleh makan sambil berdiri.”

Sesampainya di pohon jengkol, Zahira, Anin dan Farhan melihat beberapa anak sudah berada di sana. Mereka berdiri dan mondar-mandir kesana kemari, seperti ada yang mereka lihat di tanah.

“Siapa sih ini, berani-beraninya membuang rongsokan kemari. Ada ember bolong, panci bekas, sampah, kardus, botol-botol plastik." Fadla bertolak pinggang, ia tampak kesal dan menyingkirkan beberapa barang dengan kakinya,

Farhan membantu menurunkan tumpukan kardus bekas dari bangku kayu tempat mereka biasa duduk, “Teh Fadla, kita harus lapor Pak RT, nih!”

“Iya, nanti pulang sekolah aku ke rumah pa RT, deh.”

Mereka duduk di bangku yang telah dibersihkan, memakan singkong goreng yang dibawa Zahira. Setelah beberapa teman lainnya datang, mereka berangkat ke sekolah bersama-sama.

Jarak SD mereka sekitar 1 kilometer. Mereka harus menyeberangi jalan raya yang cukup ramai, itu sebabnya mereka berangkat bersama, agar bisa meminta pak satpam di ruko untuk membantu mereka menyeberang. Begitu juga saat mereka pulang sekolah.

***

“Aku dan Zahira pulang duluan, ya, Kak!” Anin pamit pada Farhan, kakaknya.

Anin dan Zahira masih duduk di kelas dua, meraka biasa pulang lebih cepat dari anak-anak yang duduk di kelas empat, lima dan enam.  Mereka berjalan bersama teman-teman lain yang searah.

Setiba di gang menuju rumah, mereka tidak langsung pulang. Anin dan Zahira penasaran dengan barang-barang yang tadi pagi mereka temukan di sekitar pohon jengkol. Namun kali ini mereka tidak menemukan apapun di sana, semua sudah bersih kembali, rumput-rumput liar di sekitarnya pun sudah terpangkas rapi.

“Zahira, lihat, markas kita sudah bersih.”

“Iya, ya, siapa yang mengerjakannya?”

Anin dan Zahira mendekat, dan berkeliling di kedua pohon jengkol hingga ke sekitar rumah tua. Mereka tidak menemukan siapapun. Hanya saja pintu gerbang rumah tua ini yang biasa tertutup rapat, sekarang sedikit terbuka.

“Masuk, yuk!” Ajak Zahira

“Gak ah, ga sopan masuk rumah orang mengendap-endap.”

“Aniiin, ini kan rumah kosong. Kita intip kedalam, setelah itu kita lapor pa Rt.” Zahira menarik tangan Anin tanpa menunggu jawaban Anin.

Mereka melangkah di antara daun kering dan rumput liar yang tumbuh di halaman rumah. Ini pertama kalinya mereka masuk kedalam rumah tua ini, rumah yang sudah lama tidak berpenghuni. Dari cerita, yang entah bersumber dari mana, katanya rumah ini dulu ditempati oleh sepasang kakek-nenek pemilik kebun jengkol yang sangat luas di kampung ini.

Dulu di kampung banyak tumbuh pohon jengkol, dan diantara pohon jengkol yang ada, terselip sebuah pohon jeruk yang katanya sangat manis. Ini lah yang menjadikan kampung ini diberi nama Kampung Jeruk Manis.

Anin dan Zahira memberanikan diri untuk masuk lebih dalam, mereka mencoba mengintip dari jendela yang penuh debu. Baru saja Zahira akan mengusap jendela dengan tangannya, terlihat bayangan besar berkelebat dari dalam rumah.

“Haaa… Kamu lihat ga?”

“Lihat apa? tanya Anin.

Zahira msih terlihat kaget, “Itu tadi ada bayangan hitam di dalam.”

“Ah, ga ada, udah yu, kita pulang aja.”

“Iya, Hayu!”

Mereka mundur perlahan, inginnya sih lari, tapi takut tersandung rumput atau benda-benda yang berserakan. Tidak lama kemudian terdengar suara berat berdehem dari dalam.

“EHEM!”

“Aaaaa…. Lariii, Aniin!” Tanpa melihat lagi ke belakang mereka berlari menuju rumahnya masing-masing.

Sore harinya, Fadla dan beberapa anak kelas 6 seperti biasa berkumpul di bawah pohon jengkol. Mereka masih membicarakan tentang barang-barang bekas yang tiba-tiba menghilang, dan suara misterius yang didengar Anin dan Zahira.

“Aneh ya, mungkin Kakek dan Nenek pemilik rumah kosong itu kembali.” kata Farhan.

“Ah, mana mungkin, mungkin mereka sudah meninggal, kan sejak aku lahir pun rumah ini sudah kosong.” Fadla menyangkal ucapan Farhan.

“Apa, Hantunya ya?”

“Apaan sih, Bimbim! Serem, tau!” Fadla menepuk tangan Bimbim.

Tiba-tiba, “Krrr… Krrr… Krrr….” terdengar suara seperti mesin atau sesuatu yang membuat semua terdiam, dan “Tokek… tokek… tokek….!” , anak-anak saling merapat.

“Eh, itu suara tokek, ya?” Faira  berkata tertahan. Fadla menyruh semua diam dengan menyimpan jari telunjuk di mulutnya. “Tokek… tokek… tokek… tokek….”

“Hah, tujuh kali! Lariiiii!” Faira yang bisanya pemberani, ia lari terlebih dahulu ketika mendengar suara “Tokek” berulang tujuh kali. Hal ini membuat bingung semua anak dan berlari mengikuti Faira sampai teras rumahnya.

Suara berat nafas anak-anak yang terengah diiringi umpatan kecil mereka, membuat teras rumah Faira gaduh.

“Aduh, sesak nih!”

“Ngapain sih kita lari?” Fadla berusaha bicara di sela-sela nafasnya.

“Tau nih, Faira. Aku cuma ikutan.” jawab Bimbim.

“Faira, ada apa sih?” Fadla mulai penasaran.

“Hehe… maaf ya, teman-teman. Aku cuma seram sama suara tokek tadi. Ada yang pernah bilang, jika toke itu bunyi sampai tujuh kali, berarti di sekitar situ ada hantunya. Ih serem!” ungkap Faira.

“Tuh kan, benar yang aku bilang. Itu pasti hantu nenek dan kakek pemilik rumah tua itu.” Bimbim tetap meyakinkan teman-temannya.

“Aku ga percaya hantu, aku yakin tokek itu kebetulan saja ada disana.” Farhan menyangkal ucapan Bimbim.

“Tapi, coba deh kamu pikir, Han. Tokek itu datang dari mana? Sebelumnya kan di sana tidak pernah ada tokek. Rumah itu berdiri sendiri, tanpa ada rumah lain yang nempel, jadi ga mungkin dia merayap dari rumah lain. Adik kamu sendiri, tadi siang mendengar suara dari dalam rumah itu. Zahira melihat bayangan hitam besar di dalamnya.” Bimbim kembali menjelaskan apa yang sudah terjadi sejak siang tadi.

“Ya sudah, aku tetap ga percaya di rumah itu ada hantu. Akan aku selidiki nanti malam. Siapa yang mau ikut?” Farhan mengajak teman-temannya, namun tidak seorangpun menanggapi ajakannya. “Ya, udah kalo begitu. Kalo kalian berubah pikiran, dan mau ikut denganku, aku tunggu di pohon jengkol setelah ngaji nanti malam.” Ucap Farhan. Kemudian mereka membubarkan diri.



BERSAMBUNG YAAA....

Comments

  1. Replies
    1. hwahhhh keren banget si kak ini Cerbungnya ... harus baca bagian satunya deh kayaknya .....
      aku sempat berpikir apa gitu tadi yang bunyi tokek sampai tujuh kali hehe

      Delete
  2. hwahhhh keren banget si kak ini Cerbungnya ... harus baca bagian satunya deh kayaknya .....
    aku sempat berpikir apa gitu tadi yang bunyi tokek sampai tujuh kali hehe

    ReplyDelete
  3. Aku pun baru tahu tentang bunyi tokek 7 kali brarti ada 'hantu". Serem juga ya..

    ReplyDelete
  4. Penasaran dengan kelanjutannya. Semangat menulis

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna