Cernak : POHON JENGKOL (Bagian 2)




“Faira, turun!” teriak Mozza.

Mendengar suara temannya, Faira turun perlahan. Faira adalah satu-satunya anak perempuan yang sangat suka mengamati keadaan sekitarnya dari atas pohon jengkol. Itu pula yang baru saja ia lakukan. Dulu dengan mudah mereka dapat melihat lalu-lalang kendaraan di jalan raya, tapi sekarang di hadapan mereka berdiri sebuah tembok yang tinggi. Dinding gedung perkantoran yang berdiri di atas tanah lapang tempat bermain mereka dulu.

Kampung Jerman ini tidak begitu luas, hanya satu RW yang terdiri dari tiga RT. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani, dan sebagian lagi adalah buruh pabrik sepatu untuk di eksport ke luar negeri. Dulu hamparan sawah disekeliling kampung sangat indah dilihat, dan udara di kampung inipun masih sangat segar. Namun sekarang lahan yang biasa ditanami penduduk, hanya hamparan tanah kering dan semak belukar. Sejak jembatan dan saluran air rubuh, tanah sawah ini tidak lagi mendapat pengairan.

Hanya beberapa penduduk saja yang masih mau mengolah tanah kering itu menjadi ladang jagung atau singkong, dengan sumber air yang berasal dari sungai Cicamplang yang terletak di perbatasan kampung.

“Ada apa?” Faira bertanya

“Yang lain kemana? Mama aku bikin rujak, mama bilang kita bisa makan sepuasnya, karena rujaknya banyak. Cari mereka, yuk! Aliya dan Nana sudah menunggu di rumahku.” ajak Mozza.

Faira dan Mozza tahu di mana harus mencari anak lainnya. Mereka segera menuju ke halaman perkantoran baru di pinggir jalan. Tampak beberapa anak sedang bermain bola di halaman parkir. Hari minggu memang ruko banyak yang tutup, hanya beberapa saja yang buka. Baru saja Faira hendak memanggil mereka, tiba-tiba terdengar suara, “Praaang!”, kaca pecah.

Semua terdiam di tempat, tidak ada satu anakpun bergerak. Sampai dua orang satpam berlari menghampiri mereka. Keenam anak yang tadi bermain sepak bola berkumpul, mereka sudah tahu pasti kedua satpam itu akan marah, sementara Faira dan Mozza masih memperhatikan dari jauh.

“Maaf, Pak, kami ga sengaja….” Bimbim memberanikan diri untuk mulai berbicara.

“Iya, kami janji akan ganti kaca yang pecah itu, jangan ditangkep, ya, Pak!” Rahap melanjutkan ucapan Bimbim.

Kedua satpam meminta mereka berkumpul di tempat teduh, Faira dan Mozza ikut mendekat. Pak satpam meminta mereka duduk di pelataran salah satu ruko.

“Bapak tahu kalian tidak sengaja. Tapi kejadian ini mungkin nanti akan terjadi lagi, jadi bapak minta kalian tidak bermain bola lagi di sini.” Salah satu satpam mengatakan sesuatu yang membuat anak-anak sedih.

“Jadi kami harus main dimana lagi, kan cuma hari minggu kami main disini?” ucap Rahap.

“Terserah kalian, hanya saja jangan main bola disini….”

“Berarti main yang lain masih boleh, ya, Pak! Kan hanya hari libur aja, Pak” Faira memotong perkataan pa satpam.

“Mmm… boleh deh. Asal jangan main bola.”

Semua menghela nafas lega mendengar jawaban pak satpam, ketegangan pun menghilang, semua tersenyum.

“Jangan senang dulu, kalian masih harus bertanggung jawab tentang kaca yang pecah tadi. Kalian bilang tadi akan menggantinya, sekarang kalian akan bilang pada orang tua masing-masing, atau kami antar ke rumah?” tanya salah seorang satpam.

“Aaaaa….” Semua anak berteriak dan berbicara saling bersahutan.

No…no....”

“Jangan, Pak!”

Ga usah, Pak…!”

“Ooo… jangan,,, jangan,,, ayah saya sedang pergi, Pak!”

“Nanti bapak-bapak lelah, biar kami saja yang bilang, ya.”

Kata dan gerak gerik anak-anak yang tampak kocak membuat kedua petugas keamanan ini tersenyum. “Ya sudah, sekarang kalian pulang, besok minta orang tua kalian menemui kami, ya, kalau tidak datang, kalian tidak boleh main lagi di halaman perkantoran ini.”

Faira dan teman-temannya bergegas pergi, celotehan-celotehan lucu masih terdengar mengiring langkah mereka.

“Kamu sih, Bim, nendangnya sembarangan.” ucap Rahap.

“Aku ini calon pemain Timnas, jadi pantas saja kalau tendanganku kencang.”

“Tapi melenceng... Hahaha…!” Ledek Faira, diiringi gelak tawa yang lainnya.

“Ayo adu lari, siapa yang bisa cepat sampai ke rumahku akan dapat rujak lebih banyak.” Teriak Mozza seraya berlari mendahului teman-temannya. Mereka pun berlomba lari menuju rumah Mozza.

“Kok lama sekali sih?” Aliya dan Nana yang sudah lama menunggu mereka terlihat sedang membantu menghidangkan makanan.

Di teras rumah Mozza sudah tersedia beberapa mangkuk rujak cuka buatan mamanya yang terkenal enak. Hampir saja anak-anak berebut mengambilnya, namun mama Mozza muncul dengan sepiring pisang goreng.

“Waaa, ada pisang goreng juga!” Seru Dalfa kegirangan, ia sedikit melompat sehingga membuat semuanya tertawa. Badan Dalfa yang gemuk membuat ia menyeret teman disampingnya.

“Eh, ternyata sudah kumpul, dari mana saja kalian semua? Sudah lewat tengah hari masih bermain, apa tidak panas?” tanya Mama Mozza.

“Dari ruko depan, Bu.” jawab Dalfa, “mecahin kaca.” lanjutnya.

“Hah! Kok bisa kalian ke ruko buat mecahin kaca?”

“Bukan, Ma, tadi mereka main bola, ga sengaja bolanya nyasar ke kaca jendela.” Mozza menjelaskan. “Lalu mereka harus mengganti, besok orang tua mereka harus datang ke kantor depan atau kita ga boleh main lagi di sana.”

“Iya tuh, gara-gara Bimbim, nendangnya ga bener!” Rahap berkomentar,

“Ah, itu si Dalfa yang nangkepnya meleset!” sanggah Bimbim.

“Ih, bolanya ketinggian… aku kan gendut, ga bisa loncat!” Dalfa membela diri.

Kembali mereka bersahut-sahutan saling menyalahkan. “Sudah, tidak usah ribut! Kan mainnya sama-sama, jadi tanggung akibatnya juga barengan dong! Kecuali kita, ya, Za!” Faira melerai teman-temannya yang masih meributkan siapa yang salah.

“Iya! Bu, tolong dong, bilangin ke orang tua kami.” Rahap sedikit merajuk.

“Lho, kok jadi ibu yang harus bilang?”

“Iya, Bu, kalo kita yang bilang, pasti kena omel, pleaseee….” Rahap kembali memohon.

Sebenarnya Mama Mozza mau membantu mereka, namun melihat tingkah anak-anak yang lucu, sengaja Mama Mozza bercanda pada mereka.

“Yaaa, kok jadi ibu yang kena! Ga mau ah,,,!”

Please, Bu…”

“Tolong dooong, Mama Mozza….”

“Bu… bu…bu… ibu…, mau, ya, bu?”

“Ya sudah, nanti ibu kabarin orang tua kalian, sekarang cepat habiskan makanannya, lalu pulang dan bersiap ke madrasah.” perintah Mama Mozza.

“LIBUUUUUR…!” mereka serentak berteriak dan mengambil jatah makanan mereka masing-masing.


Bersambung

Comments

  1. Kasian mereka nggak punya lapangan buat main bola lagi... ikut sedih.

    ReplyDelete
  2. Keren bu..
    Mereka anak2, masih polos lha aku yg baca mah greget, itu anak2 tempat mainnya diambil😭

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna