Cernak: POHON JENGKOL (Bagian 1)



“Hey, ngapain kalian disitu?”

“Shuut, jangan ribut, sini!” Uya menarik lengan Faira, adiknya, untuk ikut berjongkok dengan beberapa anak lain di balik tumpukan pasir bangunan.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang anak laki-laki, “LARIIII…!” diikuti dengan lesatan tubuhnya melalui tumpukan pasir itu. “Cepat, lari, mandornya datang…!”

“Empi, tunggu!” Uya berteriak memanggil Empi dan berlari di belakangnya diikuti tiga anak lainnya. Sementara Faira masih berdiri terpaku dengan kejadian yang ada di hadapannya.

“De, ayo lari!” teriak Uya pada adiknya.

Faira melihat seorang berpakaian mandor proyek, berlari ke arahnya. Masih dalam kebingungannya Faira berlari mengikuti yang lain. Seperti biasa, Faira bisa menglahkan anak lainnya dalam berlari. Ia menyusul Uya. Pak mandor semakin dekat, tanpa banyak berfikir Faira melompat dan memanjat pohon jengkol disamping sebuah rumah kosong yang ia lalui, “Uya, ayo naik!”

Karena badannya yang tambun, Uya tidak bisa menyusul untuk memanjat pohon jengkol yang rimbun dihadapannya. Uya melanjutkan berlari untuk menghindari kejaran mandor proyek. Sementara Faira berusaha menyembunyikan diri di antara dedaunan di atas pohon jengkol, hingga ia melihat sang mandor berjalan melewati dirinya yang mengamati kondisi dari atas pohon.

“Kena kamu! Ayo, tunjukan dimana rumah kamu, aku harus bicara dengan orang tua kamu!” Uya tertangkap, karena ia berlari paling belakang, sedangkan yang lain sudah menghilang entah kemana. Faira menatap kakaknya yang sekarang berada di genggaman mandor proyek itu.

Setelah dirasa aman, perlahan Faira turun, menepis beberapa kotoran di baju dan rambutnya. Ingin ia menolong kakaknya, namun ia tidak mau ikut terseret dalam masalah yang ia tidak tahu. Ia mengambil jalam memutar untuk sampai ke rumahnya, dalam hatinya ia berharap untuk bisa mendahului mereka dan mengabari ayahnya terlebih dahulu.

Faira memang terkenal sebagai anak yang paling cepat berlari, tidak ada satu anakpun di kampung ini yang sanggup mengalahkannya berlari. Hobinya berolahraga, ia memiliki keahlian bela diri yang dipelajari dari Ki Ujang sejak ia masih kecil.

Benar saja, mereka tiba bersamaan namun dari arah yang berbeda. Faira merasa kasihan melihat Uya yang lengannya terlihat dipegang sangat erat, ia masuk rumah terlebih dahulu dan mencari ibunya.

“Ibu… Ibu jangan dulu marahin Aa, ya! Aku tahu Aa nggak salah!”

“Ada apa sih, De? Aa kenapa?” Tanya ibu keheranan.

“Pokoknya ibu percaya aku dulu deh, jangan marahin Aa, ya.…”

“Permisiii….!” Belum sempat Faira menyelesaikan ucapannya, terdengar suara seorang lelaki di depan rumah.

“Ada tamu, udah nanti saja ade ceritanya.” Ibu meninggalkan Faira untuk melihat siapakah yang datang.

“Ibu orang tua anak ini?” Ibu mengangguk pelan dan merasa heran, kenapa Uya bisa bersama lelaki berpakaian proyek.

“Apa anak saya main di lokasi proyek dan mengganggu bapak?”

“Bukan hanya bermain bu, tapi anak ibu dan teman-temannya juga merusak beberapa peralatan kami, ini bisa membahayakan banyak orang, Bu. Bagaimana jika perbuatan anak ibu membuat pegawai kami celaka?” Mandor proyek terdengar sangat marah.

“Silahkan masuk, Pak, kita bicara sambil duduk.” pinta ibu.

Lelaki yang pada akhirnya memperkenalkan diri sebagai Pak Haris, akhirnya melepaskan pegangannya di tangan Uya, sekarang mereka duduk dan berbicara dengan lebih tenang.

“Maaf, pak, apa sebenarnya yang sudah dilakukan anak saya?” Ibu memulai pembicaraan dengan lebih tenang.
Karena ingin ikut mendengarkan kejadian yang telah terjadi, Faira tanpa disuruh membawakan segelas air untuk Pak Haris. “Silahkan diminum dulu, Pak.” Tawar ibu.

“Begini, Bu, anak ibu dan teman-temannya tadi hendak memasukan pasir kedalam salah satu tangki bensin mesin kami. Untung saja sempat saya pergoki, dan hal itu belum sempat terjadi.” Jelas pak Haris seraya neneguk air yang disuguhkan Faira.

“Bapak yakin, itu anak saya?” Tanya ibu.

“Yang saya tahu ketika saya tegur, anak ini berlari menjauh diikuti beberapa temannya.”

“Iya, tapi apa bapak yakin yang berada di dekat mesin itu adalah anak saya?” Ibu kembali bertanya.

“Saya lihat anak berbaju biru, sama seperti ini. Tapi sebentar, saya rasa yang pertama berlari itu lebih tinggi dari kamu.” Pak Haris sedikit mengamati Uya yang berdiri di sebelah ibu.

“Itu bukan Uya, Pak. Itu Empi, baju mereka sama, karena itu seragam sepak bola di kampung ini.” Faira tiba-tiba ikut berbicara. Ibu menatap Faira, sepertinya ibu tidak setuju dengan cara Faira. Ibu selalu mengajarkan untuk tidak menyela percakapan orang lain, apalagi itu adalah percakapan orang tua. Tapi kali ini Faira benar-benar ingin membela kakaknya.

“Itu Empi, Pak, teman kami. Saya tahu karena saya ada disana, tapi saya tidak tahu apa yang mereka kerjakan, sampai Empi berteriak mengajak kami berlari.” Ungkap Faira menceritakan semua yang ia tahu.

“Jadi bukan kamu?” Tanya Pak Haris pada Uya.

Uya menggeleng dan menceritakan bahwa saat itu ia diajak oleh ketiga kawannya untuk main bola di lapangan sekitar lokasi proyek pembangunan kantor. Uya tidak tahu rencana teman-temannya untuk berbuat iseng. Akhirnya Pak Haris meminta izin pada ibu untuk mengajak Uya ke rumah Empi. Ibu minta untuk ikut, agar bisa ikut mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Empi berlari memasuki rumah ketika melihat kedatangan Pak Haris, Uya dan Ibunya. Ayah Empi adalah ketua Rw di kampung ini, maka semua orang mengenal keluarga Empi. Begitu juga perilaku Empi yang sering kali membuat orang kesal karena keisengannya.

Kali ini Empi tidak bisa mengelak, tindakan Empi yang hendak memasukan pasir kedalam tangki bensin akan sangat berbahaya, jika itu benar-benar terjadi.

“Apa yang menyebabkan Empi bertindak seperti itu, Nak?” Tanya ayah Empi pada anaknya. Empi hanya tertunduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Setelah beberapa kali ditanya, barulah Empi mau membuka mulutnya.

“Iya, Pak, aku yang mengajak teman-teman ke lapang, kami mau main bola. Tapi ketika melihat banyak kendaraan besar dan mesin-mesin, aku jadi kesal. Kita ga bisa lagi main di lapangan. Aku tadi hanya iseng.” Empi menjelaskan.

“Kamu tahu akibatnya jika tadi kamu berhasil memasukan pasir kedalam tangki mesin pengangkat beton?” Tanya Ayahnya. Empi hanya menggeleng pelan, dan tertunduk.

“Paling ringan, mesinnya akan rusak, tidak bisa dipakai, dan sudah pasti kamu harus menggati rugi kerusakan mesin itu. Lebih parah lagi, bagaimana jika kerusakan mesin terjadi ditengah proses bekerja, sebuah beton sedang diangkut ke atas, tiba-tiba mesin mati. Beton itu jatuh dan menimpa para pegawai yang ada di bawahnya. Resiko nyawa melayang.” Jelas Pak Haris.

Empi terdiam.

“Tapi kami ingin bermain, lapangan kami akan menjadi gedung bertingkat, kami harus bermain dimana?” Kata-kata Empi membuat semua terdiam.

Memang sudah beberap bulan, anak-anak di kampung Jeruk Manis kehilangan tempat bermain. Satu-satunya tanah lapang di pinggir jalan yang biasa dijadikan tempat berkegiatan masyarakat kampung ini akan segera menjadi pusat perkantoran. Akses masuk ke kampung Jerman – begitu sebutan mereka untuk kampung Jeruk Manis – nantinya hanya sebuah gang yang mungkin tidak terlalu lebar.

“Iya, ayah mengerti, tapi caranya bukan dengan merusak barang milik orang lain, apalagi sampai bisa menyebabkan korban jiwa. Tindakan kamu itu tidak terpuji, berpikirlah sebelum melakukan sesuatu. Ada urusan yang tidak bisa kita selesaikan dengan mudah, apalagi oleh anak-anak SD seperti kalian. Pembangunan proyek itu diluar jangkauan kalian sebagai anak-anak, bicaralah dengan orang yang lebih tua.” Ayah Empi terus menasehati anaknya, dan mengakhiri dengan permohonan maaf pada Pak Haris atas tindakan Empi yang membahayakan. Ayah Empi menjamin bahwa anak-anak di kampung Jerman tidak akan berbuat sembrono lagi.

Setelah para orang tua membubarkan diri, Empi mengajak Faira dan Uya pergi, “Ke pohon jengkol, guys!”


bersambung ...

Comments

  1. Replies
    1. Sengaja biar bisa revisi... πŸ˜† #ngeless πŸ˜†

      Delete
  2. Asyik bikin cernak... 😍*nungguin part berikutnya...πŸ₯°

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bisa menyelesaikan 🀀 nantikan aku di bawah pohon jengkol ya....

      Delete
  3. Baca cerlak ini banyak pesan tersiratnya ya Bu.. keren!

    Mulai dari mengajak tamu yang marah duduk dan ngobrol pelan2, sambil disugihin minuman. jangan menyela orang sedang berbicara,
    Sampai contoh Ayah yang tegas menyalahkan perbuatan anaknya yang jelas-jelas salah.

    Ternyata Jerman itu Jeruk Manis ya
    Kayak Perancis - perapatan citiis. Hehe

    Keren

    Tapi aku boleh ngungkapin apa yg menurut aku koreksi Bu?


    Bu...Bu...Bu itu rumus di-tempat dipisah di mana, di sana atau di sampinh masih berlaku walaupun di dialog tag kah? Hehehe.

    Ke mana juga kan?
    Tulisan Ibu masih ada yang diawali kapital, ada yang enggak.

    Berfikir atau berpikir?




    ReplyDelete
    Replies
    1. Aasiiik...
      Tunggu bagian 2, tolong dieditin lagi ya... 😍

      Delete
  4. Hm, ada pesan tersembunyi di ceritanya yg bisa disangkutpautkan dg kondisi negeri skrg πŸ€”

    ReplyDelete
  5. Wah nemu ini, 🀣 dunia anak menarik juga, hebat bu Ivieth

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna