TOM DAN HUJAN
Perjalanan Rahmi menuju Bandung harus terhenti saat mini bus yang ditumpangi mengalami pecah ban, dan tidak hanya satu ban. Tiga ban mobil gembos, sehingga perjalanan tidak dapat dilanjutkan karena ban cadangan hanya ada satu buah. Mereka harus menunggu mobil berikutnya yang akan membawa ban lain dari kantor travel.
Dengan terpaksa semua penumpang harus menunggu di sebuah rumah kosong yang terletak tidak jauh dari jalan raya. Menjelang sore dan tampaknya langit mulai mendung, semua penumpang mencari posisi nyaman di sekitar halaman rumah yang terlihat sudah lama tidak berpenghuni. Tidak satupun terlihat rumah lain di sekitarnya. Sejauh mata memandang hanya perbukitan yang ditumbuhi pepohonan besar.
Sekilas Rahmi melihat sekeliling rumah lalu ia duduk bersandar di tiang yang ada di salah satu sudut teras rumah. “Iih serem juga nih kalo musti lama-lama disini.” gumamnya kemudian Ia memasang headset dan memutar music player ditangannya.
Hujan pun turun cukup lebat, Rahmi merasa tidak nyaman. Ia memperkeras suara music, tetap saja tidak bisa mengobati beban hatinya. Tidak terasa ada air mata menetes di sudut mata. Andai saja ia masih remaja seperti dulu, ia akan langsung berlari dan meluapkan tangisnya di tengah hujan hingga tidak ada yang tahu jika dirinya sedang menangis.
“Hai, boleh ikut duduk?” seseorang yang berdiri di sebelah menyapa. Ia mengangkat wajah dan mengangguk pelan. “Dengerin apaan sih, kayanya asik bener, saya Tom.”
“Rahmi” balas Rahmi singkat dan menerima uluran tangan Tom.
"Kamu lagi sedih ya? Bukan mau ikut campur ya, cuma kuatir aja lihat cewek ngelamun di tempat kayak gini.” Tom mulai membuka percakapan.
“Oh, ga apa-apa, aku selalu baper kalo lagi ada di tengah hujan. Jangankan lagu sedih, denger lagu Halo Halo Bandung aja bisa termehek-mehek sendirian. Berada di rumah nyeremin, pas ujan gede sore-sore, in the middle of nowhere, Hiii serem...” Jawab Rahmi.
Mereka tertawa dan dalam waktu singkat mereka sudah larut dalam obrolan yang hangat.
“Kalo kamu jadi aku, gimana? Tiap hari selama empat tahun selalu dapet perhatian luar biasa, dikenalin ke keluarga besar, semua ponakannya sudah panggil aku bibi. Seisi puskesmas tempat aku kerja bahkan sampe Pa Lurah, Pa Camat pun tahu akhir tahun ini dia mau ngelamar aku ke Bandung!” Rahmi akhirnya bercerita dengan seluruh emosinya. Ia pun tidak mengerti kenapa bisa langsung akrab dan percaya untuk bercerita pada Tom.
“Hey.. hey.. chill out, malu sama yang lain, tuh lihat!” memang beberapa pasang mata terlihat memicing ke arah mereka, beberapa tersenyum melihat tingkah Rahmi.
“Hmmm... Berarti banget ya dia buat kamu?” Tanya Tom.
“Ya begitu deh, aku dokter yang ditugaskan di tempat terpencil, tanpa kenal siapa pun, lalu ada orang yang baik hati nemenin kemana pun aku butuh, banyak membantu, sampai akhirnya kita deket. Aku sempat berpikir kita akan berjodoh!” Rahmi bercerita dengan nada yang semakin melemah.
“Apa aku cuma ke GR-an aja ya Tom? Tapi masa sih sampe 4 tahun gitu dan punya rencana sampai ke jenjang serius, malah pernah sama-sama milih tanggal dengan angka cantik sebagai tanggal perkawinan kita nanti” lanjut Rahmi.
“Dia ganteng ya?” tanya Tom.
“Biasa aja. Malah sekarang kurasa dia jelek.”
“Lucu? Maksudnya humoris, suka melawak?
”Kadang–kadang dia suka melucu”
“Kaya?”
“Emmm.. yaaaa keluarganya sih punya sebuah peternakan sapi yang cukup besar. Tapi dia pun bekerja disana, bahkan sedang mempersiapkan sebuah toko sendiri untuk bekal setelah kita nikah nanti, itu rencananya. Dia baik, pintar, lucu dan... Uuuh, aku sayang sama diaaa....” Rahmi tersedu, menutup wajah dengan tangan dan membenamkan diatas lututnya.
“Shuut... udah... udah jangan nangis, nih minum.” Tom memberi sebotol air mineral, Rahmi minum dan mengembalikannya. “Simpan saja buat kamu. Terus gimana?” lanjut Tom.
“Terima kasih. Aku tidak mau kembali lagi ke desa Tom, terlalu banyak kenangan. Setiap jalan yang kami lalui, tempat yang kami singgahi, orang-orang yang kenal dengan kami berdua, aku gak sanggup lihat itu semua. Bahkan hujan pun mengingatkan aku padanya. Setiap hujan di malam hari, dia selalu nelpon memastikan aku aman, tidak ketakutan dengan hujan dan petir. Dia akan tutup telpon sampai aku tidak lagi menjawab panggilannya, tanda aku sudah tidur. Aaahh...” Rahma memeluk lututnya, menahan isak yang menyesakan dada.
“Belum lama ini dia kabari aku lewat pesan singkat, dia bilang gak bisa menemui aku lagi, dia kembali pada mantan yang sudah delapan tahun dia cari, kebayang kan Tom, seperti disamber petir siang bolong. Gampang amat dia ngomong seperti itu. Entah apa yang terjadi diantara mereka di masa lalu, tapi rasanya tidak adil buat aku. Pengen mati rasanya.” Kemudian Rahmi terdiam, hanya suara hujan deras yang mereka dengar.
“Tom... Tom!” panggil Rahmi. “Hey, Tom! Bosen ya dengerin aku ngomong?”
“Oh.. nggak, aku cuma teringat sama Lily.”
“Siapa Lily?”
“Hey, lihat sepertinya mobil yang membawa ban cadangan sudah sampai, gak lama lagi perjalanan bisa dilanjutkan.” seru Tom, dan itu mengalihkan pertanyaan Rahmi.
“Rahmi, aku mungkin gak ngerti perasaan kamu, tapi aku tahu kamu kuat, masih muda, banyak kesampatan yang masih bisa kamu raih. Kalian belum berjodoh dan itulah yang terbaik. Jangan bertindak sesuatu yang akan berujung penyesalan, please!” Suara Tom yang tadi ringan berubah menjadi sedikit memberi penekanan agar Rahmi tetap tegar.
“Hujan sedang lebat, berdoalah pada tuhan, mintalah segala yang terbaik untuk kamu dan orang-orang disekitar kamu. Semoga hujan ini membawa berkah.”
“Iya Tom, Thanks ya.” jawab Rahmi. Ia bersyukur bertemu dengan Tom.
Mobil sudah selesai diperbaiki. Beberapa orang berlari menembus hujan, Sopir membawa tiga buah payung dan memberikan satu pada Rahmi. Rahmi mengajak Tom untuk berpayung bersama, Tom menolak dan meminta Rahmi untuk mengajak penumpang perempuan lain berpayung bersamanya.
“Aku nanti nyusul, kamu hati-hati ya.” ucap Tom.
Mobil pun siap untuk melanjutkan perjalanan, namun Rahmi tidak melihat Tom. Dia melihat ke belakang, tampak tidak ada bangku yang kosong
“Pak Sopir, maaf, sepertinya ada yang belum naik. Laki-laki berkemeja kotak hitam putih, mungkin tadi duduk didepan bersama bapak?” tanya Rahmi.
“Neng, sebaiknya pindah ke depan jika tidak keberatan, saya ingin cerita sesuatu.” Ujar sopir yang membuat Rahmi penasaran. Ia pun merasa punya kesempatan untuk melanjutkan bicara dengan Tom jika memang Tom duduk di samping sopir.
“Sudah lengkap, Neng. Tidak ada penumpang indo berbaju kotak di rombongan ini” ujar Pak Sopir. “Kita ngobrol sambil jalan ya, saya kuatir terlalu malam sampai tujuan, hujan begini biasanya macet.” lanjutnya menyalakan mesin mobil dan berangkat.
Rahmi sedikit heran, kenapa sopir ini menyebutkan lelaki indo, padahal dirinya tidak bilang seperti itu sebelumnya.
“Tom emang berkulit putih, aku sempet ngira dia keturunan bule, ganteng sih. Tapi kan aku gak bilang ciri-ciri Tom sama si bapak, kok dia tau ya?” gumam Rahmi dalam hati. Tapi dia ingin dengar kelanjutan cerita dari pak Sopir.
“Kebetulan saya penduduk asli kampung ini Neng. Rumah yang tadi itu milik Den Thompson, sudah lama ditinggalkan. Den Thompson itu teman main saya waktu kecil. Keluarga saya bekerja pada orangtuanya, mereka berasal asal Rusia dan lama tinggal di sini.”
Rahmi tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Tom yang dia temui tadi masih seumuran dengannya, sementara sopir itu mungkin sudah bercucu, mana mungkin mereka teman main.
Pak Sopir berkata bahwa rumah itu sudah lebih dari 20 tahun ditinggalkan pemiliknya. Sejak Lily meninggal suasana di rumah itu menjadi muram.
“Non Lily adalah sepupu Den Tom, ia sangat mencintai Den Tom. Sementara Den Tom sudah memilih seorang gadis dari kampung ini. Den Tom menolak tegas ketika Non Lily mengungkapkan perasaannya. Non Lily sedih dan tidak mau makan, hingga sakit dan meninggal di rumah itu.” cerita pak sopir.
. “Jangan-jangan Tom juga...?” pertanyaan muncul di kepala, Rahmi merinding.
Tom merasa bersalah dan bermaksud pergi, tapi tepat di luar gerbang rumahnya Tom terjatuh, ia terpeleset karena tanah yang basah dan hujan lebat saat itu. Tom mengalami pendarahan dan meninggal di tempat, tepat dimana mobil ini tadi terhenti. Rahmi teringat memang posisi rumah tadi sedikit lebih tinggi dari permukaan jalan.
Rahmi menatap kaca depan mobil yang masih diguyur derasnya hujan. Dia masih berusaha menyimpulkan kejadian yang baru saja ia alami dengan cerita yang ia dengar sekarang. Lamunannya pecah ketika mendengar suara sopir menegurnya.
“Neng, maafkan saya, bukan maksud menakut-nakuti, jika memang yang neng lihat tadi pemuda indo dengan pakaian kotak hitam putih, mungkin itu memang Den Tom. Saya yakin dia tidak bermaksud jahat, mungkin ada sesuatu yang dia sampaikan.” Rahmi bingung dengan apa yang terjadi, mungkin tadi dia tertidur dan bermimpi.
Dalam benaknya terbayang kejadian ketika Tom terjatuh dan meninggal. Ia terus mayakinkan diri bahwa dirinya hanya bermimpi, tapi obrolannya dengan Tom terasa sangat nyata.
Rahmi memejamkan mata untuk menenangkan diri, ia teringat ucapan Tom untuk berdoa selagi berada dalam guyuran hujan. Rahmi berdoa untuk ketenangan hatinya atas segala resah dihatinya, ia sisipkan sebuah doa untuk Tom.
Siapa pun Tom dan apapun maksud kejadian hari ini, Rahmi berharap sesuatu yang baik sudah digariskan tuhan untuknya. Dia akan menganggap kejadian tadi adalah mimpi.
Namun sesat kemudian kembali Rahmi terkejut, ketika ia menyadari di tangannya masih tergenggam botol air mineral yang diberikan Tom padanya. Rahmi berdoa semakin kuat berharap ia sedang bermimpi dan lekas tiba di Bandung.
Wah keren ceritanya. Seremmmm
ReplyDeletePengalaman pribadi loh ini...
DeleteTapi pribadi orang... hihi...
air mineral nya dia minum gk ya ...q jd takut,,,ceritanya ok
ReplyDeleteKayanya sih diminum... sayang cuma dikasih air doang ya... coba sama snacknya 😉 biar serem tp kan kenyang
Delete