LELAKI BERAROMA KOPI


          Sulawesi menawarkan berjuta pesona alam dan keelokan yang luar  biasa. Itu hal yang pertama kurasakan saat pertama menjejakan kaki di sini. Keragaman Indonesia yang  sangat luar biasa. Berbekal ijin mengadakan reportase alam Sulawesi, kembali aku meninggalkan kantor dengan alasan mencari spot yang bagus untuk terbitan bulan depan majalah tempat kerjaku. Aku sebagai salah seorang photographer junior dari sebuah majalah kerap mendapat tugas liputan mengiringi reporter senior di kantorku, tapi kali ini aku ingin berjalan sendiri.

Kedai kecil sederhana di samping penginapan ini akan menjadi tempat pertama aku menjelajah Tanah Sulawesi, tempat yang baru kali ini aku kunjungi. Hari kedua aku berada disini setelah seharian kemarin aku tiba, keliling kota dan beristirahat dengan sangat lelap. Sendiri…., demi mencari pemilik syal yang melilit di leherku ini. Sebuah syal yang membalut kepala dan mukaku saat aku di temukan dipelataran sebuah klinik selepas kejadian pemboman di Hua Hin, sebuah kawasan pantai wisata di Thailand, hampir setahun yang lalu. Aku yang sedang mengalami kesuntukan dalam pekerjaan saat itu memang sengaja meminta cuti untuk sekedar melepas lelah dari rutinitas yang mengikatku selama ini dan memutuskan untuk mengikuti wisata backpacker bersama beberapa orang kawan.

Berusaha aku terus mengingat peristiwa itu, setiap detail kejadian terus kuputar di kepala, dengan harapan aku dapat menemukan petunjuk, siapakah orang yang sudah menyelamatkanku saat itu. Aku dan ke lima temanku sedang menikmati sebuah pertunjukan di salah satu resort pada waktu itu, sebuah resort yang katanya menjadi tempat favorit Raja Bhumibol Aduljayed pada jamannya dan  banyak dikunjungi turis mancanegara di kawasan pantai Hua Hin. Belum lagi selesai pertunjukan itu, aku memutuskan untuk berjalan menyusuri pantai, aku sedikit bosan dengan suasana hingar bingar yang ada disana. Kawasan pertemuan antara  kota dan pantai kuharap dapat membuat hati dan pikiran ini tenang.

Tidak jauh dari resort  terlihat seorang wanita setengah baya dengan kereta makanannya yang penuh dikunjungi pembeli. Penasaran melihat antrian yang lumayan panjang, kuhampiri untuk melihat apa yang ia jual, sampai bisa membuat antrian sepanjang itu. Baru saja beberapa langkah kakiku menuju kereta makanan itu, tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi tepat di hadapanku. Beberapa pot bunga besar yang ada di belakang wanita penjual makanan itu tampak melayang tinggi dan jatuh jauh dari tempat asalnya setelah ledakan. Seketika tempat itu dipenuhi asap tebal dan percikan api di beberapa tempat, kereta makanan tampak terlontar jauh dari tempatnya, orang-orang lari berhamburan menyelamatkan diri.

Masih dalam kondisi kaget, di tengah kepanikan mataku tertuju pada seorang anak yang jatuh terduduk di pinggir jalan. Mataku terus memperhatikan anak yang menangis kebingungan dengan keadaan di sekelilingnya. Aku lawan arus manusia yang lari menjauh dari pusat ledakan, beberapa orang menarik tanganku untuk menjauh, tapi kutepiskan,. Hatiku hanya tertuju pada anak yang bisa kapan saja dia terinjak atau tertabrak kendaraan yang tidak terkendali.

Hanya tinggal beberapa langkah dari anak tersebut terdengar satu ledakan lagi dan terdengar sangat dekat, terhempas badanku menjauh dari anak kecil tadi. Sempat terasa pusing karena suara keras menekan gendang telinga, beberapa saat aku duduk terpaku kehilangan arah. Tak lama kusadarkan diri, dengan sedikit memaksa aku bangkit mendekati anak kecil yang masih berada di tempat tadi, hanya saja posisinya sekarang terbaring. Dengan sedikit cemas akan kondisi anak tersebut aku berlari. Berhasil kugendong anak tadi untuk menjauh dari tempat kejadian, sambil berharap tidak ada lagi ledakan susulan atau kejadian mengerikan lainnya.

Dalam kecemasanku mendekap seorang anak kecil yang tidak kuketahui kondisinya, aku berusaha mencari tempat aman untuk berlindung. Terasa pedih di beberapa bagian badan, pikirku mungkin banyak luka gores yang aku dapatkan saat terhempas dari ledakan kedua tadi. Aku sudah tidak bisa berfikir lagi, ditengah ketakutan akan ledakan berikutnya aku terus berlari menjauh. Dan sepertinya ketakutanku menjadi nyata, satu ledakan lagi terjadi dan benar-benar kali ini hilanglah keseimbanganku. Aku terjatuh bersama anak kecil dalam pelukanku. Dengan sisa kesadaran yang ada aku hanya sanggup menahan kepala anak tersebut agar tidak terbentur ke tanah dan berdoa semoga Allah masih sayang dan menyelamatkan kami berdua.

Aku merasa mungkin inilah hari terakhirku didunia, semua bayangan orang-orang tersayang berkelebat dalam pikiranku, “Ayah.., Ibu… Maafkan Kava..” Hanya itu yang bisa aku ingat sebelum rasanya seorang mengangkat tubuhku, memisahkan aku dengan anak yang kuselamatkan, dan membawaku entah kemana, hilang sudah kesadaranku saat itu, melayang dan serasa menghilang entah kemana.
***




x
Tersadar lamunanku tentang segala kejadian di Hua Hin tatkala pemilik kedai dating menghampiri. “Maaf, non menunggu lama ya? Mau makan atau minum, non?” tanya bapak pemilik kedai menyadarkanku.

“Oh, ga apa Pa, memang saya yang datang kepagian kok.” Jawabku, berharap si pemilik kedai tidak merasa bersalah karena telah membiarkan konsumennya menunggu lama. “Saya minta kopi saja dulu ya pa, kalo ada sih makanan kecil juga boleh.” lanjutku. Si bapak mengangguk senyum sambil pamit kebelakang untuk menyiapkan pesananku.

Belum kuputuskan akan kemana aku hari ini, entah akan mulai dari mana aku mencari hari ini. Yang jelas pagi ini aku ingin menyegarkan badanku dulu dengan secangki kopi. Aku berpindah posisi duduk untuk mendapat pemandangan yang nyaman kearah pantai yang tidak terlalu ramai.

Tempat yang cukup tenang dengan udara yang masih cukup bersih, “Pagi yang menyegarkan..!” gumamku dalam hati. Aku lihat layar Hp ku menyala, tak kuhiraukan, pasti salah satu rekan kerjaku, karena hanya mereka yang tidak kuberitahu keberadaanku sekarang. Aku ingin sejenak terlepas gangguan pekerjaan atau apapun itu. Sekali lagi kulihat hp menyala tanpa suara, memang sengaja hp ku pasang dalam mode senyap.

Nada sms pun berbunyi. Kubuka juga pada akhirnya, mungkin ada kabar penting yang memang harus aku dengar. Sedikit kaget juga ketika ku lihat layar hp tertulis 30 kali panggilan masuk tak terjawab dan 7 sms masuk sejak semalam, “Hihihi… ternyata banyak yang mencariku.” gumamku dalam hati seraya melihat list yang masuk ke ponselku. 8 panggilan dari nomor kantor, 1 nomor tidak dikenal dan sisanya nomor teman-temanku. Sebaiknya ku hubungi saja salah satu dari mereka.  

            Terdengar nada sambung, cukup lama aku menanti Wina mengangkat telponnya dan “KAVAAA… kemana sih elu..?” teriakan histeris Wina teman samping mejaku di kantor, berondongan pertanyaan membuatku tersenyum.

“Va, Sorry ya gue buka laci meja lo, kuatir aja lo kemana dua hari ini? Terus gue nemu catatan dokter apalah gitu, Ergophobia apaan sih, lo kena apa?” tanya Wina. Aku hanya tersenyum kecil dan ini membuat wina semakin penasaran.  “Va, Ergophobia bukan kaya psikopat gitu kan?” Wina semakin ngaco mendapati aku hanya tertawa menjawab pertanyaan-pertanyaannya. “Va… Kava… ngomong dong, Va”

Tak tahan medengar sehabatku kebingungan akhirnya aku tertawa dan mulai bicara. “Na… Satu-satu ya non.. Pertama, Gue baik-baik aja, gue ada di Losari…” belum selesai aku berbicara Wina mulai menyahut lagi.

“What! Losari?? Losari mana nih?? Rumah makan Losari ujung jalan atau Losari mana nih!!”

“Hahaha… Pantai Losari doong” jawabku sedikit meledek Wina.

“Makasar? Sulawesi? Ngapain? Jangan bilang lo mau cari dewa penyelamat lo itu! Lo becanda ‘kan?” Ga kapok lo jalan sendirian, udah maen terbang aja, ga bilang-bilang!”

“Eh bentar Na, kopi gue dateng nih” tahanku, supaya Wina berhenti sejenak.

    Belum sempat kujawab, pemilik kedai datang membawa sebuah nampan, dia menghidangkan kopi dalam gelas berpenutup, dan sepiring kecil makanan yang aku belum tahu namanya. “Silahkan Non..!” ujarnya sambil tersenyum mempersilahkan.

“Makasih embe (embe adalah sebutan bapak dalam bahasa Toraja). Eh, Sebentar mbe, ini makanan apa namanya ya?” tanyaku penasaran. “Ini pisang epe ‘kan? Kalo yang di daun ini apa?” lanjutku.

“Betul Non, ini pisang epe, pisang setengah matang dibakar dan dicelup ke gula merah cair. Yang di daun ini kue barongko khas dari Bugis non, silahkan dicoba” Aku berterima kasih dan menarik gelas kopi lebih dekat ke arahku. Bapa pemilik kedai kembali berpamitan masuk dan mengatakan jika aku memerlukan sesuatu yang lain, aku tinggal memanggilnya saja.

“Win.. Are you still there babe?” panggilku melanjutkkan pembicaraan di telpon bersama Wina.

“Duh apaan tuh pisang Epe, bagi-bagi doong” senyum aku mendengarnya, Wina memang paling luluh hatinya ketika mendengar santapan enak, aku sangat tahu hal itu. “Eh, Ergophobia tuh apaan?” lanjutnya.
“Ergophobia itu, pobia sama temen bawel kaya elu… hahaha… Googling deh sendiri!” jawabku sekenanya seraya kubuka penutup gelas kopi di hadapanku. 

Harum kopi yang luar biasa sangat menyegarkan kepala, sejenak menghipnotisku. “Ya Allah, harum sekali!” gumamku tak sadar. Seolah seluruh urat syaraf di kepala menjadi tenang, perasaan yang begitu nyaman, berbeda sekali dengan kopi instan yang selama ini aku nikmati di kantor. Kuhirup panjang, aroma kopi menyeruak memenuhi rongga hidung, kepala dan tubuhku, seolah tersengat energi yang luar biasa. Perlahan aku angkat dan seruput kopi ini, mungkin Wina pun bisa mendengar seruputan kopi ini dari ujung telpon sana.

“Va… apaan tuh?” tanya Wina penasaran. “Aahh….!”  mengakhiri tegukan kopi pertamaku, Aku yakin Wina lebih gregetan lagi, aku tertawa dalam hati membayangkan muka penasarannya. “Nikmat Na... Mau?”

“Ih Mau doong, gue susul ya, esok kan weekend. Ya.. ya…Please Va..!” rajuknya.

“Iya deh Na, susul gue sini ya, dah makin misterius nih perjalanan gue di tempat asing kayak gini!”

“Wah! Serius! Misterius gimana Va? Jangan bikin parno deh lo!” suara wina sedikit kuatir, padahal aku hanya mengarang cerita untuk mencandainya.

“Serius! Makanya lo kesini ya, temenin gue ya. Pokoknya sedari tadi malem gue denger suara-suara aneh gitu” tambahku diikuti dengan menyebutkan beberapa jenis kuliner yang menggiurkan.

“Mmmm… Gimana ya... tapi oke deh, gue berangkat pake pesawat terakhir hari ini ya. Gue penasaran kopi yang lo seruput tadi, besok pagi gue musti nyicipin. Gue mau ijin pulang cepet deh hari ini” Wina menyetujui untuk menyusulku ke Pantai Losari besok.

       Kembali ku teguk kopi dan mengigit pisang ape yang terhidang. Luar biasa rasa kopi ini, mungkunkah ini rasa kopi khas Toraja yang terkenal itu? Wanginya yang enak ketika tutup gelas di buka, memang tidak terlalu kuat, tapi begitu khas. Rasanya yang tidak meninggalkan rasa masam sesudahnya dan tidak terlalu lama meninggalkan rasa pahit membuat kopi ini ringan untuk di minum. Aku dekati pemilik warung yang sedang duduk di meja lain di kedai ini. Tampak tidak terlalu sibuk, mungkin bisa ku ajak ngobrol sedikit, siapa tau aku bisa dapat informasi yang berguna sehubungan dengan keberadaanku di sini.

Embe, sudah lama buka kedai disini?” tanya ku membuka percakapan. Bapak pemilik kedai menjawab dengan ramah. Pembicaraan kami berjalan lancar, banyak hal yang kami bicarakan tentang daerah Losari ini. “Kopinya enak sekali ini. Ada rasa gimana gitu, beda sama kopi yang biasa saya minum embe, kopi apa ini mbe?” tanyaku.

“Ini kopi khas Tana Toraja Non, kami olah sendiri di sini, setiap panen anakku kirim bijih kopi dari tana toraja kemari, orang bilang ini kopi Celebes Kalossi, nama pemberian orang Belanda dulu” jelas si bapak sambil tersenyum melanjutkan.”Embe giling sendiri bijih kopi ini. Yang buat kopi ini jadi enak katanya karena lahan menanamnya bagus sehingga bijih kopinya lebih berisi dan kadar keasamannya rendah… hahaha… tapi saya pun tidak tahu, itu hanya saya dengar dari orang-orang pintar yang sering mampir disini.” kami sama-sama tertawa mendengar penjelasan si bapak pemilik kedai. Kemudian dia bertanya tujuanku datang ke tempat ini.

     Aku ceritakan kedatanganku untuk mencari kain seperti yang aku pakai dileherku ini, aku tunjukan ujung kain yang ku pakai sebagai syal ini, juga wangi kopi yang melekat pada kain ini. Ku tanya di mana sekitar sini aku dapat mendapat kain seperti ini. Dia memegang ujung syal yang kupakai. Seperti sedang mengingat sesuatu, dia merenyitkan dahinya.

“Sudah lama saya tidak melihat kain dengan motif seperti ini. Terakhir saya lihat ketika ibu saya masih hidup, kira-kira 15 tahun yang lalu. Sekarang motif seperti ini sudah antik non, harganya pun akan mahal karena ini asli tenunan tangan. Kebanyakan kain yang beredar sekarang sudah buatan pabrik dan warnanya pun sudah bermacam-macam. Apalagi di tempat wisata seperti ini, jarang sekali kain asli tenunan tangan” jelas si bapak.

“Saya punya satu peninggalan ibu, buatan tangannya, sebentar ya.” si bapak masuk untuk mengambil kain. Sekembalinya dia memegang sebuah kain berwarna hitam pupus, berserat agak kasar dengan garis-garis tipis berwarna, khas songket-songket tenun tradisional Indonesia. Sedikit mirip dengan yang ku punya hanya saja miliku berwarna coklat kopi, agak pupus juga dan tidak mempunyai rumbai di ujunnya.

            Aku meraba lebih teliti tekstur kainnya, si bapak kembali menjelaskan, “Ini menggunakan serat daun nanas, nah milikmu menggunakan serat kapas jadi tak sekasar milikku. Tapi sekarang serat nanas sudah tidak di pakai lagi”. Karena penasaran dengan aromanya, kudekatkan kain milik si bapak ke hidungku, tidak tercium apa pun hanya aroma kain yang tersimpan lama di lemari, seperti kain-kain biasa saja. Kucium juga kain yang ada padaku, tercium aroma khas kopi. Beberapa kali kulakukan bergantian hingga membuat pemilik warung tersenyum. Aku malu sendiri dengan tingkahku.

Embe, coba cium deh kainku, wanginya enak kan? Wangi kopi menurutku.” Si bapak mengangguk dan tersenyum. “Iya, parfumnya non enak, wangi kopi.” jawabnya.

            Ingin aku menjelaskan bahwa aroma ini sudah ada pada kain ini sejak pertama melekat di badanku, dan kain juga aroma inilah yang membawaku kemari, tapi untuk apa. Aku lanjutkan percakapan tentang daerah asal dibuatnya kain ini, segala informasi yang bisa mengantarku ke tempat pemilik kain ini. Lumayan banyak informasi yang ku dapat. Kebetulan sekali pembicaraan kami mengarah ke daerah Tana Toraja, dimana kopi dan kain tenun tradisional dihasilkan disana.

        Sa’dan Malimbong salah satu desa berada di wilayah Tana Toraja yang sampai saat ini masih dikenal dengan tradisi tenun tradisionalnya. Pemilik kedai menyarankan aku untuk mendatangi tempat itu jika aku benar-benar ingin melihat langsung pembuatan kain tenun Toraja.

Sebuah informasi yang berharga buatku, aku merasa pencarianku semakin dekat, terucap syukur dalam hatiku ternyata tujuanku tidak menempuh jalan yang sulit. Ku ambil buku saku  untuk menuliskan segala petunjuk yang diberikan pemilik kedai, mulai dari arah menuju ke desa Sa’dan Malimbong, transportasi apa yang bisa membawaku ke sana dan segala sesuatu lainnya.

      Kuhabiskan makanan dan kopi dengan hati gembira, hari sudah mulai siang aku tak tahu harus bagaimana setelah ini. Aku putuskan untuk menikmati keindahan pantai Losari saja sampai nanti sore kembali ke penginapan, dan menyuruh orang dari penginapan untuk menjemput Wina di bandara.
***

        Lewat tengah malam seseorang mengetuk pintu kamar, sepertinya Wina sudah datang. Akan aku kejutkan dia dengan memakai sprai menutupi kepala dan badanku. Dengan cepat ku buka pintu, dan….  ternyata akulah yang dibuat terkejut. Wina tidak sendiri, dia datang bersama “Kahfi...!”

“Aaaa…. KANAYA WINONA….! Kok bisa sih Kahfi ikut” histeris aku setengah berteriak.

“ KAVA AURA…. norak kamu, malu ih sama orang, masuk aja yu!” seraya mendorongku masuk kamar. “Makasih ya mas, dah jemput kita di bandara.” sambil memberikan tip pada pegawai hotel yang menjemput dan mengantarnya ke kamarku.

            Aku dan Wina bersitegang tentang ikutnya Kahfi kesini, Kahfi adalah sepupu Wina yang bekerja di satu Gedung yang sama dengan tempaku dan Wina bekerja. Dia seorang yang smart, sebenarnya punya face dan performance yang lumayan, hanya saja kacamata kotak berbingkai tebalnya membuat dia tanpak lebih tua dari usianya. Cocoklah dengan sikapnya yang kadang gugupan, terutama jika dekat denganku. Seperti tidak merasa dialah yang sedang diperdebatkan, Kahfi meminta ijin buat membersihkan diri. Setelah aku mengijinkan, Kahfi masuk ke kamar mandi dan aku melanjutkan pembicaraan dengan Wina.

 “Kok bisa siiih dia ikut, gimana ceritanya?” aku sedikit greget.

“Sorry yaaaa… ga sengaja Vaa..  tadi kan gue ijin pulang cepet dari kantor, nahpas di lift gue ketemu dia, dia tanya apa gue sakit atau kenapa sampai pulang cepet. Gue ceritalah mau nyusul lo ke sini. Dia tawarin anter ke rumah trus ke bandara, ya gue pikir bisa lebih cepet sampe dari pada gue musti pake taksi. Malah dia langsung book tiket buat gue. Tapi gue ga tau kalo dia book dua tiket… mmm baru gue tau pas di bandara dia ikut terbang… maaf yaaa… lagian kan udah disini, ga papa lah ya… Kan gue juga ga serem berangkat kesini bareng dia, mana tengah malem gini.” jelas Wina panjang lebar.

“Iya sih, bener juga, lo aman dikawal dia ya. Ya udah deh, lo yang urus ya Win, buka kamar deh buat dia, apa minta ektra bed ya, sekalian kalian makan malam ya.”  akhirnya aku tidak mempermasalahkan juga keikutsertaan Kahfi menyusulku.

            Kahfi keluar kamar mandi “Ga apa-apa Va, kita tadi di jalan makan dulu kok ya Win” Wina menganguk sambil membongkar barang bawaannya. “Ga perlu extra bed juga deh, biar kalian tidur aku mau jalan-jalan di luar aja, penasaran sama kopi yang Wina cerita tadi, katanya kamu begitu menikmati kopi disini hehe…” ucap Kahfi. Aku senyum menyetujui ucapannya.

“Oke deh, besok kita jalan-jalan, giliran kamu yang tidur ya. Aku duluan tidur ya” pamitku setelah melihat Wina mulai bersiap untuk tidur juga.
Selintas ku cium aroma kopi yang lembut, ingin aku lanjutkan pembicaraan dengan Wina, tapi biar besok saja, aku tidak mau Wina beranggapan aku berhalusinasi lagi. Memang sejak kejadian di Hua Hin, beberapa kali aku sering terbawa perasaan jika aku melihat asap, atau mencium aroma kopi yang tiba-tiba.

Aku sendiri bisa memahami ketika aku ketakutan melihat asap, tapi kopi? Kenapa aku pun selalu bereaksi ketika mecium aroma kopi saat tak kulihat ada kopi disekitarku. Bukan perasaan takut, tapi perasaan tenang dan aman yang kurasakan.
***

Pagi berikutnya aku dan Wina bergegas keluar untuk menikmati sunrise di pantai Losari. Kutemukan Kahfi sudah berada di tempat dimana biasa orang-orang berkumpul untuk menikmati terbitnya matahari sambil sarapan pagi. Ku ajak mereka berdua ke kedai tempat ku sarapan kemarin,disana aku menceritakan tujuanku hari ini, yaitu mengunjungi desa Sa’dan Malimbong.

Sesuai petunjuk pemilik kedai kemarin, sampailah kami bertiga ke daerah bernama Sa’dan di Toraja bagian utara. Sa’dan adalah sebuah kecamatan, ternyata kami masih harus mencari desa bernama Sa’dan Malimbong. Nyaman rasanya menyusuri desa yang masih asri, jarang kami rasakan udara seperti ini di Jakarta. Sepanjang perjalanan kami banyak melihat Tongkonan, rumah adat Toraja, berjajar rapi berkelompok. Beberapa penduduk yang sedang beraktifitaspun banyak kami jumpai dan selalu melempar senyum, walau pun tak seorang pun berlanjut pada percakapan atau pertanyaan tentang tujuan kami ke sana. Sampai akhirnya perkiraanku mengatakan kita telah sampai di tujuan yang kita cari.

Kupastikan kita telah sampai di desa yang tepat. Beberapa kali ku tanya  penduduk yang berpapasan dengan kami. Wina mulai tampak kelelahan
“Va, Haus nih… cari minum yu..” Aku ikuti kemauan Wina, memang kebetulan aku pun haus..

Ditengah penrjalanan kami Kahfi bertanya “ Va, apa sih yang bikin kamu kukuh untuk pergi ke desa ini?”

“Lho bukannya Wina sudah cerita kemarin di perjalanan kalian?” jawabku spontan.

“Iya sih, tapi kalo sudah ketemu pemilik kain itu kamu mau apa?” Kahfi tampak penasaran dan menanyakan beberapa pertanyaan lainnya. Tanpa banyak berfikir aku jawab sekenanya, kata-kata yang terbersit begitu saja dari fikiranku.

“Yaa… Gimana ya… Yang jelas aku pengen ngucapin terima kasih aja udah nyelametin aku dulu. dan kalo emang yang nyelameti aku tu cewek, aku akan jadiin sodara…”

Kahfi memotong perkataan ku dengan cepat, “Kalo Cowok?” tanyanya.  “Yaaaa… Aku jadiin suami aja kali yaaaaa hahaha… Bener ga Win!” teriakku sambil menepuk bahu Wina, dan kami pun tertawa, sementara aku lihat Kahfi membenahi posisi kacamatanya yang sebenarnya dari tadi kacamatanya baik-baik saja, dan wajahnya sedikit memerah. Aku pura-pura tidak memperhatikan dari pada membuatnya malu. Aku jalan mendahului mereka berdua.

Kami mampir disebuah rumah untuk sekedar minta ijin untuk beristirahat dan jika mungkin meminta segelas air minum. Beruntung kami langsung dipersilahkan duduk dan disuguhi air minum. Penduduk desa ini sangat ramah dan tampak terbiasa menerima orang asing, mungkin mereka memang sudah terbiasa didatangi oleh para turis.

Sekedar membuka pembicaraan setelah aku berterima kasih atas minumnya, aku bertanya tentang keramaian yang terlihat tidak jauh dari rumah ini. Yang ternyata ada seorang pejabat daerah yang sedang berkunjung ke desa ini. Tak kusia-siakan kesempatan ini, aku abadikan momen langka ini. Aku keluarkan kamera daridalam tas dan mengambil beberapa foto upacara penyambutan tamu terhormat ini, terutama tarian-tarian yang memang baru kali ini kulihat secara langsung.

Setelah puas mendapatkan foto, aku kembali ke halaman rumah tadi dan aku hanya menemukan Wina. “Kahfi mana?” tanyaku. Wina menunjuk pada kerumunan yang tadi aku tinggalkan. Rupanya Kahfi juga ingin melihat upacara itu dari dekat.

Tak lama kulihat Kahfi keluar dari kerumunan dan menuju kearah kami. Tiba-tiba seorang anak laki-laki terlihat mengikutinya, sepertinya masih balita atau ya sekitar usia lima tahun. Anak itu mengejar Kahfi, langkah kaki Kahfi yang lebar tidak bisa tersusul oleh anak itu. Terlihat lucu, kuarahkan kamera pada mereka dan aku ambil beberapa shot. Setibanya Kahfi di hadapan kami, anak kecil itu terus memanggil “Pa’amberan… pa’amberan..” yang belakangan baru aku tahu artinya adalah paman.

Kahfi mengibas-ngibas tangan pada muka dan lehernya untuk menghilangkan panas ditubuh, bersamaan si anak memeluk kakinya dari belakang. Aku dan Wina tertawa melihat kejadian tersebut.

“Fi, anak lo  ya?” kata Wina. Sambil mencubit pipi anak yang memang terlihat lucu itu. Kahfi kaget mendapat pelukan tersebut, dia berusaha mundur dan duduk di sampingku. Anak itu berkata dalam Bahasa toraja yang kami tidak paham sama sekali. Si ibu pemilik rumah yang datang menyuguhi kami makanan menterjemahkan apa yang anak itu katakan,

Anak itu bertanya apakah Kahfi teman ayahnya? Dan dia pun bertanya kapan ayahnya akan pulang. Kami bertiga terbengong mendengar kata-kata tersebut. Apakah anak ini kehilangan ayahnya?  Kuusap kepala anak itu dan aku pangku. Sesaat aku mencium aroma kopi lagi. Kutepiskan perasaan lain, perhatianku terfokus pada anak itu.

Pa’indoran...” kata anak itu pelan lalu memelukku. “Pa’indoran...” sekali lagi dia menyebutku pa’indoran dan tertidur di pangkuanku. Aku memandang ibu pemilik rumah, ia bilang pa’indoran itu artinya tante. Dia pun berkata tidak pernah melihat cucunya bisa sedekat itu pada orang lain, malah beberapa waku belakangan dia selalu takut melihat kerumunan orang.

Ternyata anak ini adalah cucu pemilik rumah ini, dia mengambil cucunya dari pangkuanku dan menidurkan di sebuah bale di halaman rumahnya. Wina bercanda padaku dan Kahfi “Kalian kayanya cocok deh kalo punya anak kayak gitu!” muka Kahfi kembali memerah dan salah tingkah, sementara aku merasa ada sesuatu yang sepertinya aku pernah rasakan saat memangku anak itu.

Semakin kuat aku mencium aroma kopi di sekitarku, aku bertanya apakah ibu sedang membuat kopi. Pemilik rumah menjawab kalo memang dia sedang menumbuk kopi di belakang. Dia bercerita dulu ketika anaknya, ayah dari anak ini masih ada, dia selalu mencolek bubuk kopi yang sedang ditumbuk dan mengemutnya, katanya rasanya enak. Hal itu berlangsung sejak ia masih kecil, sampai-sampai anaknya memiliki bau badan yang seperti kopi, ceritanya diakhiri tarikan nafas panjang dan isakan pendek. Kami terkaget dan mencoba tidak bertanya lagi tentang kopi atau ayah anak ini. Tapi Wina tidak bisa menahan diri dan bertanya.

“Kemana ayah anak ini sekarang bu?”. Sambil menyusut air mata ibu itu berkata jika ayah anak ini meninggal pada ledakan bom di Thailand beberapa tahun lalu.

Kepalaku mendadak pening teringat akan peristiwa peledakan bom itu. Mungkinkah ayah anak ini ada di tempat yang sama denganku saat itu? Mungkinkan anak yang memanggilku pa’indoran itu adalah anak yang sama yang ku gendong di Pantai Hua Hin? Apakah yang menolongku dulu adalah ayah anak ini dan malah dia yang menjadi korban? Banyak pertanyaan berputar di kepalaku, sampai tak tersadar aku jatuh lemas dan Kahfi menangkapku di dadanya, aku rasa aku akan kehilangan kesadaran. Kucium lagi aroma kopi ini, yang sekarang sudah menjadi aroma yang tidak asing di hidungku, aku begitu mengenal aroma ini. Sesaat aku lemas, tapi masih mampuaku untuk tersadar danmelepaskan pelukan Kahfi.

“Kamu ga apa-apa Va?” tanya kahfi yang masih memegangi bahuku.

“Ga, ga apa-apa Fi, Sorry ya barusan.” jawabku.

Sepertinya Wina tahu kondisiku, mungkin dia bisa menebak apa yangku pikirkan. Wina melanjutkan pertanyaan pada ibu pemilik rumah tentang cucunya.

“Aduh kasian ya bu, ade ini masih belum tahu ayahnya meninggal, sampai tadi mengira teman saya ini teman ayahnya” Wina melanjutkan percakapan setelah ia memberikan segelas air padaku, dan Kahfi membantu mengangkat gelas untuk kuminum.

“Terus gimana bu kejadiannya anak ibu bisa jadi korban disana?” lanjut Wina. Si ibu menceritakan bahwa anaknya berangkat ke Thailand bersama cucunya untuk menemui istrinya, yaitu ibu anak ini, yang bekerja di Thailand sejak beberapa tahun lalu. Pada saat kejadian itu cucunya sedang bersama ibunya sementara ayahnya ada di tempat lain.

“Apa anak ibu menjadi korban bom yang di Pantai Hua Hin bu?” tanya wina lagi.

“Bukan nak, anak ibu korban peledakan di pantai Pataya, sementara anak ini dan ibunya sedang berada di pantai Hua Hin, mereka memang terpisah karena ada urusan berbeda yang harus mereka kerjakan.” ungkapnya.

“Cucuku memegang ini saat di temukan dalam pelukan seorang seseoran seusai kejadian itu” dia memperlihatkan pergelangan tangan anak itu, tampak sebuah ikat rambut berwarna merah dengan dua bandul warna biru. “dia selalu memakainya, tidak pernah dia lepaskan dari tangannya.” sambung si ibu.

            Kulihat pergelangan tangan anak ini dan kudapati sebuah ikat rambut yang aku kenal, bahkan aku sekarang memakai ikat rambut yang sama, karena ikat rambut ini sepasang. Semakin terkaget aku dan rasa haru akan anak yang di tinggal kedua orangtuanya sekaligus dalam satu waktu.

“Ibu, bagaimana cucu ibu bisa kembali kemari?” tanyaku.

“Ada orang dari travel yang mengantarnya beberapa hari setelah kejadian, juga beberapa orang dari kedutaan Indonesia, setelah sehari sebelumnya jenasah orangtuanya yang tiba terlebih dahulu.” jelas si ibu di akhiri dengan isak tangis.

Aku memohon maaf padanya bukan maksudku membuka sakit hati atas kehilangan keluarganya. Aku menceritakan bahwa aku juga salah satu korban yang berada di sana pada kejadian bom itu. Akulah yang menggendong cucunya, dan anaknyalah yang menyelamatkan aku kemudian. Aku berusaha menjelaskan tujuanku datang ke Tana Toraja ini, yaitu untuk mencari pemilik kain ini yang kemungkinan telah menolong aku dan cucunya pada kejadian itu. Aku menunjukan kain tenun yang kuspakai.

        Ibu pemilik rumah nangis terisak melihat kain tenun tersebut. “Iya ini memang milik saya, yang dipakai anak saya ketika pergi dari rumah. Saya kenal betul karena saya sendiri yang menenunnya.” Isak tangisnya semakin berat, aku tak tega untuk meneruskannya.

Kami terdiam cukup lama sampai si ibu reda dari isak tangisnya. Aku lanjutkan ucapanku berterima kasih atas pertolongan yang dilakukan anaknya, walau anaknya sendiri tidak bisa diselamatkan. Aku kembalikan kain tenun itu pada ibu tersebut, kurasa tepat karena memang kain itu adalah miliknya. Akhirnya kita putuskan untuk pamit pulang, aku tak ingin kehadiran kita malah menjadikan ibu itu makin sedih.

            Sebelum kami berpamitan, anak kecil itu terbangun, kembali memanggilku dan lari memeluku, memegang pipiku dan kadang memegang pipi Kahfi yang duduk di sebelahku. Lagi-lagi dia bebicara dalam bahasa Toraja, raut mukanya kadang sedih kadang tersenyum. Kupandangi neneknya, seperti faham neneknya menterjemahkan lagi kedalam Bahasa Indonesia. Anak itu berkata “Bibi seperti ibuku, paman juga seperti ayahku. Bilang ayah ibuku cepat pulang ya, aku ingin bermain dengan ayah ibuku.”

Mengalir air mataku mendengar kalimat itu, kucium anak itu berkali-kali, kupeluk erat, dan dia menarik ikat rambutku. Neneknya melarang dan menarik cucunya dengan lenbut dari pelukanku, dia memgembalikan ikat rambutku. “Ga apa-apa Bu, biarkan dia memiliki ikat rambut saya.”ucapku pada neneknya.

        Berusaha menguatkan diri, aku mengajak dua temanku berpamitan. Sepanjang jalan tidak ada yang berani mengajaku berbicara, meraka mungkin memberi kesempatan aku untuk tenang. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan kami kembali ke penginapan. Setelah tenang, kami membersihkan diri dan makan di kedai biasa. Kami sudah mulai bisa kembali berkomunikasi. Wina sudah mulai ngoceh dengan candaan-candaannya lagi. Dan aku pun sudah mulai tenang.

“Nah, sekarang udah ketemukan tujuan lo, berarti besok kita dah bisa balik Jakarta dooong!” ucap wina mencairkan suasana.

“Iya Na, kita pulang besok” jawabku, “Makasi ya Na, Fi, udah nemenin gue di sini. Udah lega gue sekarang, berterimakasih sama keluarga yang anaknya dah nyelamatin gue, dan kembaliin syal itu” lanjutku.

“Eh bentar Va, ada yang bikin aku penasaran nih dari cerita kemaren. Lo kan ngerasa di selametin sama orang, elu digendong sama cowo bau kopi ya?” aku mengangguk pelan “Nah sedangkan si ibu kemaren bilang anaknya meninggal di Pantai Pataya, nah elu pan korban di Pantai Hua Hin sama anak itu sama ibunya juga. Nah… gimane tuh, gue kemaren pengen tanya tapi gimanaaaa gitu….” Wina terus mengungkapkan ke heranannya.

            Sejenak kita terdiam dalam keheningan, aku mencoba meruntut kejadian yang kualami dan merangkai dengan cerita dari ibu kemarin, aku membenarkan pernyataan Wina.

“Elu bener Win, ga mungkin bapaknya anak itu yang nolong gue, tapi beneran anak itu yang gue selametin. Jadi kalo begitu, sebenernya gue belum ketemu sama orang yang nyelametin gue ya…?”

“Oh... no... noo… jangan jangan gue malah kasih ide lo buat nyari orang lagi ya? Ga bisa, besok kita pulang! Gue jadi merinding nih ma kejadian ini.” sanggah Wina “Gimana Fi, kita pulangkan, ngomong dong, makan mulu!” ucap wina pada Kahfi. Kahfi mengangkat kepala dengan grogi “Iya… iya kita Pulang”

            Aku masih belum memberikan jawaban pada dua temanku, tiba-tiba Kahfi terbatuk dan seperti akan berbicara sesuatu yang serius. “Guys, sebelumnya aku mau minta maaf dulu ya. Terutama sama kamu Va.” ucap Kahfi, dan tampak terlihat gugup. Dia membuka kacamatanya untuk mengurangi gugupnya. Aku dan Wina menunggu apa yang akan dia katakana.

“Sebenarnya aku ragu ngomongin ini, apalagi ke kamu Va, aku ga mau di bilang mata-matain kamu”  ucapnya.

“Kenapa Fi, Ko mata-matain aku?” tanyaku binggung dengan ucapannya.

“Iya, waktu itu aku ikutin kamu ke Thailand. Aku kuatir, terakhir sebelum kamu berangkat ingat ga kita papasan pas jam makan siang. Saat  itu kamu menjatuhkan kertas, dan aku lihat itu hasil medical cek up kamu, juga laporan dari psikiater, tertulis kamu mengidap Ergophobia. Awalnya aku ga tau apa itu, aku cari info, saat itu aku tahu kamu sedang menghadapi kesuntukan dalam pekerjaan. Aku terus ikutin perkembangan kamu sampai aku tahu kamu ambil cuti untuk pergi liburan ke Thailand.” Kahfi berhenti sesaat dan menarik nafas.

“Aku ikutin semua kegiatan kamu sampai ke Thailand , juga pada saat peristiwa itu terjadi. Aku melihat kamu terlempar karena ledakan bom itu, aku melihat kamu meraih anak itu, dan aku juga yang mengangkat kamu ke depan klinik dengan harapan kamu segera ditemukan tim medis. Sementara aku pun mencari pengobatan untuk tanganku yang terkena serpihan bom disana.” Lanjut Kahfi.

”Bukan aku ga mau nemenin kamu sampe sembuh, swearpengen banget aku di sisi kamu waktu itu, tapi aku ga mau kamu mengira aku sedang memata-matai kamu, seperti yang ku bilang tadi, aku hanya kuatir akan kondisi kamu saat pergi ke Thailand dalam kondisi galau.”

            Aku hanya terdiam mendengar cerita Kahfi, begitu juga Wina, tidak satu komentar pun yang kami lontarkan, kami hanya terdiam dan menunggu kelanjutan cerita Kahfi.

“Terus Fi?” tanyaku pendek.

“Ya begitu, Aku minta maaf udah ikutin kamu dari sejak ke Thailand, sekarang ke sini juga aku ikutin kamu, bareng Wina. Sebetulnya bukan ga sengaja kan Win? Kita yang rencanain. Sekali lagi aku mita maaf ya.” Ucap Kahfi meyakinkan aku dan tampak kuatir kalo aku akan marah.

Ingin rasanya mengerjai mereka dengan berpura-pura marah besar, tapi untuk apa, toh diaa udah nyelamatin aku dari peristiwa bom itu. Aku menyimpan gelas yang kupegang dengan sedikit gebrakan, sudah ku lihat muka khawatir di wajah mereka, aku mulai bicara.

“Oh jadi gitu ya, well ya udah, ga apa-apa” ucapku datar.  

Giliran mereka yang bingung dengan ucapanku. Tapi tak tahan juga melihat mereka “Fine, ga apa-apa, makasih buat kalian berdua yaaaa, kalian dah baik banget mau merhatiin gue.” Ku peluk mereka berdua sekaligus. Terdengar Kahfi dan Wina menghela nafas lega.

“Hei, tapi tunggu sebentar. Apa kamu juga Fi yang tutup kepala sama leherku dengan kain tenun itu? Jadi rambutku ga kebakar dan aku selamat?” Kita lepas berpelukan dan kembali bengong.

“Nah kalo itu aku ga tahu Va, aku sudah liat kamu berkerudung kain itu sejak kamu menangkap anak itu.” Jawab Kahfi seraya memandang aku dan Wina bergantian.

“Ah Serius kamu Fi!!” teriak Wina. Masa sih bapaknya anak itu dengan ajaib nutupin dia biar bisa nyelametin anaknya. Hiii… Merinding gue” teriak Wina.

Aku speechless, ga ada yang bisa aku omongin soal yang satu ini, dan memang aku pun mulai merasa merinding. Aku bergegas mengajak kedua temanku pulang ke penginapan untuk packing “Besok kita pulang!” ujarku sambil jalan menuju penginapan.

Sepanjang jalan aku terus kepikiran soal kain itu, dan “Hei!” satu lagi, wangi kopi yang melekat di kain itu dan selalu aku cium di saat-saat tertentu, pertanda apa lagi itu? Makin ku percepat langkah kaki ke penginapan, kurasakan dua temanku pun begitu.

Sesampai di pintu penginapan aku ceritakan keherananku tentang aroma kopi yang selalu kucium itu. Tiba-tiba Kahfi memelukku, sempat aku akan berontak, tapi ku cium kembali aroma yang selalu membuatku tenang itu. Sejenak ku cium aroma itu di badan Kahfi, lalu dia melepaskan pelukannya.

“Nah gimana sekarang, terjawab?” tanya Kahfi.

“Fi, gimana bisa kebetulan gitu?” Tanyaku heran

“Tidak ada yang kebetulan, aku memang sengaja mengganti parfumku setelah tahu kamu begitu suka dengan aroma kopi.” jawab Kahfi sedikit gugup. “Ya maksudku buat menarik perhatian kamu, eh ternyata kamu baru ngeh pas aku gendong di tengah ledakan bom itu… hehehe…” jawab Kahfi sambil terkekeh malu.

“Cie…cie…!” sorak Wina. “Jadian doooong, Kahfi is your Hero Va…..!” lanjutnya.

“Mau ya, jadi calon Istriku?” tanya Kahfi tiba-tiba. Bingung aku menjawab, hanya satu kalimat yang keluar dari mulutku.

“Asal Ganti ya kacamatamu, jelek tau!” jawabku.

“Hahaha…. Asiiiik, pokonya besok kita pulang.”  teriak Wina seraya masuk kamar.

Sekarang terjawab sudah semua pertanyaanku tentang siapa pahlawan yang menyelamatkanku dan sekarang aku memiliki seorang pria beraroma kopi yang selalu menenangkanku, Kahfi. Kava dan Kahfi, nama kami pun cocok, keduanya mempunyai arti kopi, dalam dua bahasa yang berbeda.
***



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna