CERPEN : FUR ELISE



Namaku Elise, Papa bilang nama ini sudah disiapkan sejak aku belum lahir.  Baru setelah aku bisa mengerti cerita, aku mengetahui bahwa namaku diambil dari salah satu komposisi klasik milik Ludwig Van Beethoven. Mama sangat menyukai Fur Elise, Papa pun jatuh cinta pada pandangan pertama saat  Mama memainkan komposisi ini, dan ketika mereka menikah, mereka ingin salah satu anak perempuannya bernama Elise.

Papaku seorang pemain flute, dan Mama adalah seorang pianis. Mereka tergabung dalam sebuah grup orchestra ternama di kota ini. Pertemuan pertama mereka pun terjadi di sebuah akademi musik yang mereka masuki pada belasan tahun yang lalu. Hal ini menjadikan kami dikenal sebagai keluarga musisi – setidaknya, itu yang orang lain pikir tentang keluarga ini.

Kakak lelakiku, Bastian, sangat mahir memainkan gitar. Kakak perempuanku, Clara, bakatnya luar biasa, selain cello ia pun piawai memainkan piano seperti Mama. Sedangkan aku, sejak kecil aku hanya suka melihat mereka berlatih, aku akan bertepuk tangan mengikuti nada yang keluar dari alat musik mereka.

Berbagai alat musik mencoba mereka ajarkan padaku, Mama berharap aku dapat menguasai piano seperti dirinya. Berbagai jenis piano mainan sejak kecil dikenalkan padaku, aku senang... tapi hanya melihatnya sebagai mainan saja. Segala cara dicoba untuk memperkenalkan aku pada nada, tapi sepertinya aku sangat lambat beradaptasi dengan perubahan-perubahan nada yang aku dengarkan. Berbeda dengan kedua kakakku, mereka sudah mahir memainkan piano sejak balita, dan pada saat duduk di bangku sekolah dasar mereka sudah memiliki alat musik kesukaan mereka sendiri, gitar dan cello.

“Elise... mari... sini, Nak!” Ajak Mama, ketika melihat masuk rumah sepulang sekolah. “Sini duduk dekat Mama...” Mama tersenyum dan melanjutkan permainannya. Musiknya sangat indah, aku suka, dan badanku mulai bergoyang di sebelah mama mengikuti gerakan badan mama yang tampak terbawa dengan alunan denting piano.

Fur Elise... Untuk Elise...” Aku tersenyum, aku sangat mengenal musik ini, karena sejak kecil mama sering memainkannya untukku.

“Ayo coba...” Mama bergeser untuk memberiku tempat. Aku duduk dan menatap tuts piano. Sebenarnya aku senang, hanya saja ketika kutekan tuts pertama, “ting...”, terdengar sumbang. Mama tersenyum. “Ayo lagi...” Mama dengan tenang mengajak aku mencoba lagi. Namun sekarang Mama mendampingiku bermain dengan menekan nada pada oktaf yang berbeda.

“Pintar, anak mama!” Mama mencium keningku dan menyuruhku berganti pakaian kemudian mengajaku makan siang. Akhirnya aku bisa menyelesaikan Fur Elise walau terpatah-patah, pada permainanku yang ke sebelas kali.

Aku senang melihat mama tersenyum, aku sudah membuatnya bahagia hari ini. Aku gantung seragam putih merahku, kuganti dengan pakaian yang sudah mama siapkan di atas tempat tidurku. Aku menuju meja makan dan bersiap untuk santap siang bersama keluargaku.

Semua tersenyum melihat kedatanganku, sepertinya mamah sudah bercerita tentang keberhasilanku memainkan Fur Elise hari ini. Benar saja... Papa dan kedua Kakakku memuji kemajuanku hari ini. Kami makan dengan diiringi pembicaraan tentang rencana-rencana untuk tampil bermusik bersama.

Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka, keberhasilanku yang tidak seberapa membuat mereka bahagia, berarti harapan mereka memang besar untuk bisa mengajaku bermain dalam sebuah orchestra dikemudian hari, semoga aku tidak mengecewakan mereka. Ini adalah makan siang yang paling membahagiakan untukku, akan selalu aku ingat saat-saat ini dalam benakku.

***

Berminggu-minggu aku berlatih, jari-jariku yang semula selalu terasa akan kram jika bermain piano, sekarang sudan mulai lentur menari diatas tusts piano. Mama pun sudah tidak lagi mendampingiku duduk dibangku depan piano, Mama cukup menepuk tangan dari kejauhan jika mendengar aku melakukan kesalahan.

Dua hari lagi kami sekeluarga akan tampil dalam sebuah acara di sekolahku. Keluargaku sudah banyak dikenal sebagai keeluarga musisi klasik, kecuali aku. Malam pertunjukan ini pun manjadi malam perdana aku tampil bersama keluarga sebagai seorang pianis cilik. Papa sudah mengaransemen beberapa musik klasik yang akan kami mainkan, tentu saja bagianku hanya Fur Elise.

Bastian dan Clara tidak henti membantuku berlatih dan menunjukan bagian-bagian mana aku akan tampil solo dan tampil bersama mereka. Aku akan bermain di bagian awal, kemudian diselingi dengan permainan gitar bastian, lalu kami akan bermain bersama. Aku sudah dapat membayangkan suasana di aula sekolahku yang akan dipenuhu ratusan pasang mata yang menonton kami.

“Elise, dicoba dulu kostumnya, kalo masih kurang pas masih bisa diperbaiki.” Ucapan Mama membuyarkan bayanganku tentang malam penampilan kami. Sebuah dress berenda berwarna putih yang cantik, aku pasti terlihat manis dalam kostum ini. Aku berlari ke kamar Mama untuk mencoba gaun ini.

“Pas, Ma...” Aku berputar beberapa kali di depan cermin, Mama memakaikan sebuah mahkota perak yang indah. “Semoga permainanku nanti akan secantik gaun ini.” gumamku.

“Kenapa hanya baju aku yang berwarna putih, Ma, yang lainnya hitam.” Aku bertanya ketika melihat dua buah tuxedo milik Papa dan Bastian, juga gaun Mama dan Carla.

“Karena ini hari istimewa buat kamu, kami ingin kamulah yang menjadi pusat perhatian nanti.” Jawaban Mama semakin memberatkan aku. Aku tidak boleh membuat sedikitpun kesalahan.

Dua hari berikutnya terasa begitu berat buatku, kami berlatih lebih lama dari biasanya. Tanganku sebenarnya mulai terasa pegal, tapi aku harus terus berlatih untuk tampil sempurna. Aku dan seluruh keluargaku akan tampil di hadapan guru dan kawan-kawanku beserta keluarga mereka.

Aku berlatih hingga cukup lelah, bahkan mungkin terlalu lelah. Malam ini aku pasti akan tertidur sangat nyenyak. Aku buka sketch book miliku, aku goreskan pinsil gambarku seperti yang biasa aku lakukan sebelum tidur. Tanpa direncanakan, aku menggambar suasana panggung diaula sekolahku, lengkap dengan gambar lima orang dengan alat musik, aku meggambar keluargaku yang sedang pentas.

Ini adalah satu hal yang keluargaku tidak pernah tahu, aku memiliki banyak sketch book yang sudah seperti diary untukku. Menurut guru seni di sekolahku, aku sangat berbakat dalam menggambar, hanya saja aku takut Mama dan Papa akan kecewa jika mereka tahu ternyata aku lebih mahir menggambar dibanding barmain alat musik. Aku pun diam, ketika tanpa sengaja keisengan kawanku di kolam renang telah membuat telinga sebelah kiriku sedikit terganggu saat mendengar nada keras, aku sering merasa pusing. Karena itu lah, penampilanku besok sangat berarti, walau hanya sekali, aku dapat bermain musik bersama seluruh anggota keluargaku.

Aku terlelap di atas kertas gambarku, semoga besok aku tidak terlambat bangun,  aku masih punya waktu satu hari untuk menyempurnakan permainan pianoku sebelum tampil.

***

Aku terbangun dengan rasa dingin di kakiku, rupanya jendela kamar terbuka dan aku tidur tanpa berselimut. Sepertinya sudah lewat tengah hari, aku heran kenapa Mama tidak membangunkanku. Biasanya Mama akan sangat cerewet jika waktu latihan terlewatkan. Aku mandi dan merapikan diri. Entah kenapa tanganku meraih gaun putih yang akan kupakai besok malam.

“Aku akan pakai gaun ini, sekalian nyoba gimana rasanya bermain piano dengan kostum yang bagus.” Aku tersenyum dalam hati, Mama pasti terkejut.

Aku keluar kamar dan mengendap menuruni tangga, aku akan buat kejutan dengan tiba-tiba memainkan piano. Aku intip kebawah, Mama, Papa, dan kedua kakakku sedang berada di ruang tamu, sepertinya ada tamu yang baru saja akan pulang.

Kembali kulanjutkan niatku. Aku turun perlahan, menggeser bangku dengan sangat pelan agar tidak bersuara, dan membuka penutup piano. Aku tutup mata dan berdoa, semoga permainanku kali ini akan menjadi kejutan indah untuk mereka. Aku buka mata dan mulai menekan tuts piano, “Ajaib.” Permainanku terdengar sangat indah, aku pun terhanyut dan menutup mata. Sepertinya aku sudah sepetri Mama.

Aku mendengar mama terisak, ”Kenapa mama menangis?” aku bertanya dalam hati. Seharu itukah Mama melihat permainanku? Aku lanjutkan hingga selesai, ingin aku buka mata, tapi lagi-lagi aku tidak ingin mengecewakan Mama dengan berhenti di tengah permainan piano ini. Aku berusaha menikmati musik yang kumainkan, walau tangisan Mama terdengar semakin keras.

Hingga usai Fur Elise aku mainkan, aku membuka mata dan berpaling ke arah Mama dan yang lain, aku tersenyum. Tapi kenapa mereka menangis? Mama berlari ke arahku, aku hendak memeluknya, tapi mama menjatuhkan diri di samping bangku tempat kami bermain piano. Aku heran dan berdiri.

“Mama, kenapa? Permainan aku jelek ya?” Mama tidak menjawab, mama membenapkan wajahnya di atas tangan yang terlipat di bangku. Sementara Papa meraih pundaknya untuk berdiri.

“Sudah, Ma, ayo bangun. Jangan membuat anak-anak semakin bersedih.” ucap Papa.

Aku semakin bingung, ada apa dengan mereka? Mereka tidak mendengar panggilanku. Aku lari ke arah  Bastian dan Carla, aku tanya apa yang terjadi dengan Mama? Tapi merakapun tidak menjawab. Aku semakin bingung. Bukankah besok kita akan tampil bersama? Apakah permainanku tadi begitu mengecewakan.

Aku duduk di samping Bastian dan Carla, tanpa bicara aku coba menebak apa yang terjadi. Mataku tertuju pada tumpukan kertas gambar di atas meja. Semua gambar yang aku buat ada di sana. Aku sedikit panik, mungkinkah Mama sudah melihat semuanya? Aku tahu mama pasti marah, karena beberapa gambar diantaranya menunjukan aku sangat lelah berlatih piano, gambar-gambar tentang perasaanku saat mendengar suara yangterlalu kencang dan membuatku sakit kepala. Aku ceroboh, tidak merapikan kertas gambarku sebelum tidur tadi malam, sehingga mama menemukan semuanya.

“Elise... Maafkan Mama, Nak!” Baru saja aku hendak membereskan kertas di atas meja, aku dengar Mama meminta maaf, tapi untuk apa?

“Mama sudah memaksamu terlalu keras, mama tidak memahami keinginan kamu, maafkan mama ya, Sayang!” Tangis Mama pecah semakin keras, disusul dengan tangis Carla.

Hampir saja aku menutup kuping, tapi tidak kurasakan sakit seperti biasa. “Telingaku sudah sembuh! Ma, aku bisa berbain piano dengan baik sekarang. Aku siap untuk besok, Ma!” teriakku. Tapi sepertinya tidak ada yang mendengarku.

“Mama, terlalu egois memaksa kamu bermain piano, Nak! Mama tidak memperhatikan perasaanmu. Sekarang kita semua kehilangan kamu, Elise, putri kesayangan Mama.”

Apa maksudnya ini? Aku menebak apa yang sebenarnya sudah terjadi. Tadi malam aku memang lelah dan kepalaku sangat sakit usai berlatih, kemudian aku tidur dengan sangat nyenyak. Lalu apa lagi yang terjadi?

“Mama, sudah, Elise sudah tenang di Surga, dia sudah bisa melakukan apapun yang dia mau. Mama jangan buat dia sedih, kita doakan saja ya.” Papa kembali memeluk dan menenangkan Mama, Carla mengambilkan segelas air minum, sementara Bastian membereskan kertas-kertas gambarku, dan menyimpannya kembali di kamarku.

Apa maksud papa, aku sudah tenang di surga? Apa aku meninggal? Hatiku sepertinya patah, aku sedih mendengar itu semua, ingin aku memeluk semuanya, namun tidak bisa. Berapa kerasnya pun aku berusaha, aku tetap tidak bisa memeluk mereka. Aku tersedu, namun sesuatu membuatku berhenti. Perasaan ini, perasaan ini seperti aku terlepas dari sesuatu yang sangat berat. Telingaku dapat kembali emndengar dengan jelas, sakit dikepalaku tidak lagi terasa, dan tanganku yang terasa pegal dan kaku pun sekarang terasa sempurna.

“Mama! Aku sembuh mah! Mama jangan kuatir, aku baik-baik saja disini. Mama jangan menagis lagi, jika mama kangen aku, mainkan saja Fur EliseI maka mama akan merasakan aku di samping mama.” Hanya itu kata-kata yang sempat aku ucapkan, sebelum aku merasa sesuatu mengajak aku ke suatu tempat yang begitu indah, tempat dimana aku akan menunggu Mama, Papa, Bastian dan Carla untuk dapat memainkan musik bersama.   


***

Comments

  1. Dari kemarin nyariin link ini. Keren pisan cerpenna tapi sedih 😥

    ReplyDelete
  2. Wah, bagusnya. Aku terhanyut membacanya.

    ReplyDelete
  3. Bagus cerpennya, ikut merasakan kesedihannya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna