Bangku Di Sudut Taman Kota




Hari sudah malam, ketika aku tiba. Lima jam perjalanan aku tempuh dengan bis. Tiba-tiba saja aku kangen kota kelahiranku yang sebenarnya baru beberapa tahun saja kutinggalkan. Entah kenapa, memang hari ini selalu tampak special. Bukan karena pada tanggal ini aku dilahirkan, tapi lebih pada bersama siapa biasanya aku menghabiskan malamku. 


 Lapangan di tengah kota, yang sekarang sudah menjadi Alun-alun megah menjadi tujuan pertama setelah aku turun dari bis. Langkah kakiku langsung tertuju pada salah satu sudut taman. Dulu disini ada abah penjual bandros. Tidak ada yang luar biasa dari bandros Abah. Hanya saja keramahan Abah pada semua pelanggannya dan Abah yang selalu setia mendengar keluh kesah siapa pun, itulah yang membuat abah istimewa Sekarang sudut ini sudah menjadi taman bermain.


Bangku kayu tempat kami biasa duduk, sudah berubah menjadi bangku besi. Kolam kecil berisi ikan mas pun kuni sudah tidak ada. Hanya tiang tinggi bersorot lampu keemasan yang masih utuh berdiri tepat di samping bangku. 


 "Aam? Kamu Aam, kan?" Sebuah suara dari balik badan, kudengar sesaat setelah aku lepas lelah. "Kapan sampai? Tepat dugaanku, malam ini pasti kamu datang." 


Aku berbalik badan untuk memastikan bahwa yang kudengar memang suara Mia. "Mia, ngapain malam-malam kamu disini?" tanyaku.  


"Hai, aku sehat dan kabarku baik-baik saja!" Jawab Mia dengan nada sedikit meninggi.


 "Hehe... iya maaf, apa kabar? Ngapain disini?" Aku kembali bertanya. Sebenarnya aku khawatir. Ini kota kecil, meskipun di tengah kota, tetap saja keadaannya sepi. 


 "Kamu lupa? Rumah aku kan hanya beberapa blok dari sini. Dan ini kan hari ulang tahun kita, setiap tahun sejak kepergian kamu, aku selalu datang dan berharap kamu ada disini. Duduk di bangku ini seperti dulu." 


 Mata mia berkaca-kaca. Seperti seorang anak yang mendapatkan mainan yang diinginkannya. Luar biasa, Mia masih tetap sama seperti ketika aku tinggal pergi. Tanggal lahir kita sama, itu yang membuat kami begitu merasa istimewa satu sama lain. 


 Tak lepas aku menatap wajah perempuan yang terus bercerita dihadapanku ini. Seolah ia ingin menggantikan semua masa yang sudah hilang di antaraa kami. Belum sempat aku bertanya banyak, Mia sudah akan beranjak pergi. 


 "Temui aku disini, besok, diwaktu yang sama ya. Sudah malam, aku harus pulang." 


 "Mia, aku antar ya?" 


 "Eit... jangan! Kamu tahu dimana rumahku, kamu bisa datang kapan aja, tapi malam ini jangan antar aku, oke! Itu kalo kamu masih mau ketemu aku." jawabnya. 


 "Baiklah, besok, disini..." Aku sedikit kikuk menyanggupi keinginan Mia, tidak seperti dulu. 


 "Oke, jam yang sama... " Lanjut mia sambil berlalu pergi. Rasanya rindu ini sedikit terobati. 


 "Selamat malam, Pa. Maaf, taman sudah akan ditutup, disini berlaku jam malam." Suara berat seorang petugas keamanan mengagetkanku. Akupun beranjak pergi, kutoleh arah Mia berjalan, tapi dia sudah tidak tampak. 


 *** 


 Pertemuanku dengan Mia kemarin malam masih membuatku heran. Setiap tahun sejak kepergianku meninggalakan kota ini, dia selalu menunggu di taman ini? 


Seberarti itukah aku untuknya? Akupun sebenarnya kangen, tapi rasa kagetku kemarin mengalihkan segalanya, aku tidak sempat memeluknya, menjabat tangannya pun tidak.


 Setengah jam sebelum waktu yang ditentukan aku berjalan menuju bangku di pojok taman. Aku kira aku akan mendahuluinya, ternyata Mia sudah disana. Dia tersenyum menyambut kedatanganku. Sweater hijau pupus kesayangannya tampak nyaman menempel di tubuh semampai yang begitu aku kenal.


 Rentangan tanganku untuk memeluknya, tidak bersambut. Mia mengajaku duduk. "Aku tahu, kamu pasti akan datang lebih cepat, jadi aku dahului saja." Ucapnya ringan. 


 "Selalu saja ada kejutan yang kamu buat, apakabar malam ini?" Aku hendak memegang tangannya, namun ia mendadak berdiri. 


 "Well, aku masih sama seperti yang dulu, justru kamu yang lupa dengan apa yang terjadi. Nah, sebelum malam ini berlalu, aku minta kamu diam dan dengarkan semua ceritaku, bisa?" pinta Mia. 


 8 tahun aku meninggalkan kota ini untuk bekerja, begitu banyak peristiwa yang aku lewatkan. Mia dengan lincahnya menceritakan segala perubahan yang terjadi sejak aku pergi. Bagaimana ia menghabiskan waktu tanpa aku bersamanya, betapa semangatnya ia datang ke taman ini setiap tahun hanya untuk menunggu kedatanganku, dan segala harapan yang ia simpan untukku. Namun Ia menutup ceritanya dengan kata-kata yang tidak begitu aku pahami. 


 "Setelah hari ini, semua jadi keputusanmu. Apakah kamu akan terus kembali ketempat ini, atau kamu akan ikut bersamaku?"


 "Maksud kamu apa?" Tanyaku ragu. 


 "Aku tunggu jawabanmu besok ya, atau kamu tidak akan melihatku lagi." Mia mengakhiri ucapannya dan berlari menjauh. 


 Aku coba mengejarnya, namun ia berbalik dan menggerakan telunjuknya kearahku. "Jangan ikuti aku, kamu tahu tempat tinggalku, tapi jangan malam ini." 


 Persis seperti yang ia katakan kemarin. Mungkin ia bermaksud menemuiku lagi esok di tempat dan waktu yang sama. 


 Aku akan mencari tahu keadaan yang sebenarnya. Akan aku datangi Mia di rumahnya, agar tidak ada alasan dia untuk menghindar, dan ia harus menceritakan semua yang telah terjadi. 


 *** 


 Rumah Mia adalah tujuanku siang ini. Bangunan tua yang cukup artistik dengan halaman yang luas, belum hilang di ingatanku.


 Langkahku terhenti ketika aku dengar langkah kaki beberapa orang hendak meninggalkan halaman rumah. 


 "Dokter bilang dia kritis di ICU, kita harus siap dengan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Mama bawa foto Aam yang ada di atas meja? Kita berangkat sekarang ya." 


 Tak lama berangkatlah mobil kedua orangtua Mia. Mereka tampak jauh lebih tua dari yang aku ingat. 


 "Foto? Foto aku yang diatas meja? Siapa yang sedang kritis?" Kepalaku terisi penuh pertanyaan yang meragukan. 


Jika yang dimaksud adalah Mia, aku harus menemuinya. Apa yang terjadi pada Mia? 


"Rumah sakit kota hanya beberapa blok dari sini, aku bisa menyusul mereka!" Tekadku telah membawa kekuatan yang luar biasa, aku berlari secepat yang aku bisa. 


 Orang tua Mia terlihat baru saja memasuki lift dan naik. Tangga darurat jadi pilihanku, ICU hanya 3 lantai diatasku. Aku tiba beberapa saat setelah mereka masuk ruangan. 


 "Aku terlambat." Gumamku dalam hati. Aku tidak bisa masuk dan belum sempat bertanya pada mereka. 


Kesempatanku hanya mengintip kedalam dari jendela yang tirainya tersingkap. Aku sisir beberapa ruang didalam dengan mataku. Tepat di depan mata ternyata dapat kulihat jelas Mia terbaring. Selang infus, oksigen, dan monitor vital signs terpasang di sekelilingnya. 


"Ya Tuhan, Mia, Kamu kenapa?" Hanya itu kata yang dapat meluncur dari mulutku. 


Sepertinya hatiku hancur melihat pemandangan di hadapanku. Kelebat sebuah kecelakaan lalulintas terlihat dari alam bawah sadarku. Suara decit rem mobil, hantaman benda keras yang bertubi-tubi, bahkan ledakan yang sangat keras memekakan telinga. 


 Kututup telinga dan berlari. Hari sudah gelap. Aku kembali ke sudut taman untuk menenangkan diri, sebelum aku melanjutkan niatku untuk ke Rumah Mia. 


 Berkali-kali aku mencoba merangkai kejadian yang terjadi. Lalu kilas bayangan yang sejak siang aku lihat ini, sebenarnya apa? Kupejam mata dalam-dalam. 


Tak lama kurasa tangan seseorang meremas bahu kiriku. "Aam... kamu sudah lihat keadaanku?" Terkejut aku mendengar suara Mia dibelakangku... bukankah ia tadi.... 


*** 


 Aku berdiri dan membalik badan. Masil dalam kebingungan, aku bertanya, "Mia? Kenapa kamu disini?" 


 "Kamu lihat kondisi aku, kan? Jadi bagaimana? Apa kamu akan terus datang ketaman ini setiap tahun, atau kamu akan ikut bersamaku?" Mia mengulang pertanyaan yang kemarin ia lontarkan. 


 "Apa maksud kamu sebenarnya?" Aku masih belum bisa menyadari apa yang terjadi. "Aku lihat kondisimu kritis di rumah sakit, lalu kamu ini apa?" 


 "Aku, Mia. Sudah satu tahun aku terbaring disana. Aku terlalu lelah menunggu kamu disini setiap tahun. Setiap kali kamu datang, aku harus bercerita semua, cerita yang akan kamu lupakan ketika kamu pergi. Semua terus berulang." 


 "Ada apa sebenarnya ini?" Tanyaku mempertegas semuanya. 


 "Aam, kamu tidak pernah pergi dari kota ini. Delapan tahun lalu bis yang akan membawamu pergi, jatuh terperosok kedasar jurang dan meledak. Hanya sebagian dari jasadmu yang bisa ditemukan. Kamu sudah meninggal, Am. Delapan tahun yang lalu."


 Kepalaku mendadak pening, mencoba memahami yang Mia ceritakan. Bagaimana mungkin aku sudah meninggal? 


 "Hal apa yang bisa kamu ingat selama ini? Tidak ada, kan?" Mia menatapku. Memang, tidak ada yang aku ingat, aku hanya merasa rindu yang sangat berat akan tempat ini, aku kembali, dan semua berakhir dengan cerita Mia saat ini. 


 "Kalau memang aku sudah meninggal, kenapa kamu bilang, kamu selalu menunggu aku setiap hari ulang tahun kita tiba?" 


 "Karena kamu selalu datang ke tempat ini!" Nada tinggi terlontar dari mulutnya. 


 "Semula, aku yang tidak bisa menerima kematianmu, dan selama beberapa bulan, hampir setiap malam aku duduk disini. Namun setahun kemudian, banyak orang mulai melihat sosokmu ada disini, di bangku ini, tepat pada hari ulang tahun kita dan hari kecelakaan itu terjadi." 


 Aku semakin bingung dengan apa yang ku dengar, seolah ribuan ton beban berat menimpa tubuhku. Aku hanya mampu terduduk lemas. 


 "Aku membuktikannya sendiri. Tahun berikutnya aku bisa melihatmu, berbicara dan melepas rindu akan sosokmu. Walau itu hanya berlaku selama tiga hari saja, dan kamu kembali menghilang dan melupakan apa yang terjadi. Setiap tahun sampai hari ini, aku masih bisa menemuimu. Tapi mungkin ini yang terakhir." 


 "Mia ...." Hanya itu yang sanggup aku ucapkan. Semua kejadian tentang kecelakaan dan tangis duka orang-orang yang aku sayangi mulai jelas aku ingat. Kedatanganku setiap tahun ke tempat ini pun aku lihat. 


Aku hanya bisa terisak. Selama itu kah aku tidak menyadari akan kematianku sendiri? Aku telah membuat Mia menderita denga terus datang kemari. Isakku pecah menjadi tangis. Entah apa yang aku rasakan. 


 "Tubuhku sudah lelah, dan tadi aku sudah bisa menyentuhmu, mungkin ini hari terakhir aku didunia ini." 


 "Nggak... nggak, ga boleh, Mia... Jangan! Bertahanlah, aku berjanji ini terakhir kali aku mememuimu. Kamu harus sehat. Bangun Mia!" 


 "Tidak, Am... Aku lemah, dan setiap orang mengira aku stress karena kehilangan kamu. Biarkan aku pergi. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu mash akan terus berkunjung ke tempat ini atau kamu akan ikut bersamaku melanjutkan perjalanan." Mia mengulurkan tangannya. 


 Penglihatanku sedikit kabur, bayangan Mia mulai memudar. Dalam kesadaran yang tidak sempurna, aku bergumam, "Aku akan ikut bersamamu."


****

Comments

  1. Hiks..... bagusss ibu....
    Nyeri hatΓ© ikhh bacanaaa....
    😭😭😭😭

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. ☺ harusnya ganti judul jadi HANTU AMNESIA , ya....😁

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna