Cerpen : LAST AUTUMN
“Kamu yakin akan kembali ke Indonesia?”
Aku hanya bisa menundukan kepala, tak kuasa aku menatap matanya, hanya anggukan kecil yang bisa kulakukan di tengah kebekuan ini.
“But, why now? Tidak bisakah ditunda beberapa bulan lagi? Atau sampai pergantian tahun?” James berusaha terus meyakinkan aku untuk tetap di Adelaide.
“James, can we go home now?” pintaku pelan.
James mengulurkan tangan dan menuntunku meninggalkan Chocolate No.5, sebuah restaurant favorit kita berdua di daerah Hahndorf. Hahndorf sebuah pemukiman berarsitektur Jerman di dataran tinggi yang sebenarnya cukup jauh dari tempat tinggal kami di tengah kota Adelaide. Hamparan daun di tepi jalan membiaskan warna kuning keemasan sepanjang langkah aku dan James. “It could be our last autumn here, James.” gumamku dalam hati.
Kami berjalan dalam senyap, tidak satu kata pun mampu aku ucapkan. James masih tetap menggenggam tanganku, menyusuri jalan yang lengang dengan dihujani daun yang berguguran ditiup angin musim gugur. Sampai di tempat Harley milik James terparkir, James memasangkan helm di kepalaku, merapihkan kerah jaketku agar aku tidak kedinginan.
Sebenarnya aku ingin berlama-lama disini bersama James, tapi entahlah. Aku harus mulai terbiasa melepaskan semua kenangan yang pernah aku jalani bersamanya. Kami meninggalkan Hahndorf, mungkin ini terakhir kali aku menginjakan kaki di sini bersama James, dan sepertinya tidak akan mudah aku melupakan segala yang pernah terjadi.
Entah udara musim gugur yang mulai dingin atau hanya perasaanku saja, aku memeluk erat lelaki yang selama ini selalu mendampingku kemanapun aku pergi, James terlalu baik dan selalu ada untukku.
“James, aku sayang kamu, tapi aku harus kembali ke Indonesia... untuk ibu.” aku hanya bisa berkata dalam hati. James memacu motornya dengan kencang, ini membuatku semakin erat memeluknya, kusandarkan kepala di punggungnya. Nyaman, aroma tubuhnya tak akan pernah bisa aku lupa, aku ingin perasaan ini tetap ada, andai saja....
“Jasmine... Jasmine... are you okay? You hold me so tight, kamu kedinginan?” Tanya James menghentikan motornya. Badanku memang mengigil, tapi wajahku seperti terbakar..
“James, aku...”
“Hold on, jangan bicara dulu... kita hampir sampai.” jawab James memacu kembali motornya. Tampak jelas rasa khawatir dari suaranya, dia terus meminta aku bertahan dan terus mengajakku bicara agar aku tidak tertidur.
Tidak lama kami tiba di halaman rumah, Perlahan James turun kemudian memangku badanku yang sudah lemas dan suhu tubuhku semakin tinggi. James menerobos masuk, membawaku ke kamar dan membaringkan aku di tempat tidur.
“James, what happened to Jasmine?” terdengar suara Nola, istri ayahku.
“I don’t know, Nola. It just happened, when we were....” James mencoba menjelaskan apa yang terjadi padaku, Nola dengan panik menelpon ayah untuk segera pulang. Entah apa lagi yang terjadi, suara mereka semakin tidak jelas dan pandanganku mulai gelap.
***
“Dad...”
“Oh, Jasmine, kamu sudah bangun nak...” Ayah membantu duduk dan memberiku minum. Memang aku merasa sangat haus, seperti habis berolahraga, badanku berkeringat.
“Oh, thanks God, you are awake dear. We are so worried.” Ucap Nola tampak senang dengan keadaanku. “Come, aku sudah buat chicken cream soup buat kamu, you must be hungry.” lanjutnya. Ayah pun memapahku keluar kamar menuju meja makan.
Sepintas kulihat James tertidur lelap di sofa depan tv. Aku santap soup buatan Nola yang memang sangat aku gemari. Nola sangat pandai memasak, apapun yang dia buat aku selalu menyukainya. Dia memang ibu tiriku, tapi aku bisa merasakan dia sangat menyayangiku. Usianya di bawah ibu, ini membuatku merasa Nola itu lebih seperti seorang kakak untukku. Aku mempunyai seorang adik laki-laki dari pernikahan ayah dan Nola.
Ayah memegang hak perwalianku sejak perceraiannya dengan ibu sepuluh tahun yang lalu, aku tidak pernah tahu apa penyebab perceraian orangtuaku. Yang jelas sejak saat itu aku tinggal bersama ayah di Adelaide dan Ibu di Bandung bersama Rosa kakak perempuanku.
Ayah dan Nola membiarkan aku makan tanpa bertanya apa pun, mereka hanya menemaniku di meja makan seolah aku adalah seorang anak kecil yang baru saja ditemukan setelah menghilang sedemikian lama. Sesekali kutatap James di sofa. Nola memperhatikan gerak-gerikku dan tersenyum.
“He’s awake all night, dia sangat khawatir dengan keadaan kamu.” Nola sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya tersenyum lemah mendengar penjelasan Nola.
Tentu saja James pasti khawatir dengan keadaanku, ini pertama kalinya aku sakit secara tiba-tiba sejak aku mengenalnya. James adalah keponakan Nola, ia tinggal di apartemen yang tidak jauh dari rumah kami bersama dua orang kawannya sesama mahasiswa postgraduate. Aku mengenal James di acara pernikahan ayahku dan Nola, saat itu aku sedikit bingung dengan suasana pernikahan dan James datang menghampiriku.
“Hi, I am James. Don’t worry, we are family now. Aku akan selalu menjaga kamu sampai kapanpun. Ayo, aku kenalkan kamu pada sepupu-sepupuku.” Itu kata-kata pertama James yang selalu aku ingat. Sejak saat itu aku percaya pada James, dialah yang selalu menjagaku di kala ayah tidak ada, sampai akhirnya kami benar-benar saling menyayangi.
Kudengar James terbatuk dan bangun, ia duduk menyangga kening dengan kedua tangannya. Jemari menyisir rambut coklat yang ikal, ia menarik nafas berat, ia tampak lelah.
“Jasmine, Hai...” James menghampiri dan menanyakan keadaanku.
Nola beranjak dan menyiapkan semangkuk sup untuk James. Ayah tersenyum melihat wajahku sudah segar kembali, kemudian pamit untuk beraangkat kerja. Ayah meminta James untuk menjagaku hari ini karena Nola harus menghadiri pertemuan orangtua dan guru di sekolah Noah, adikku yang masih duduk di kelas 3.
“Pasti banyak yang kamu pikirkan kemarin?” tanya James. “Maafkan aku jika terus menahanmu untuk tidak pergi dari Adelaide... I am just....“
“... Noo James, bukan karena itu. Aku memang kurang enak badan kemarin, dengan istirahat dan makan sup buatan Nola, See, aku sehat lagi.” potongku, sebelum James merasa tidak enak dengan kondisiku. “Nih, coba sup nya, open your mouth...” James menerima suapan dariku, kami tertawa dan sama-sama menghabiskan brunch kami.
Usai makan aku bersihkan meja, aku terbiasa membantu Nola untuk urusan meja makan. James membantuku, dia mengira tubuhku masih lemas hingga ia sedikit khawatir jika aku akan sakit lagi dan perjalananku ke Indonesia dua hari lagi akan terganggu.
***
“Okay, semuanya siap? Let’s go now.” Ayah menutup pintu bagasi setelah koperku masuk kedalam mobil, ia mencium keningku lalu membukakan pintu mobil untukku. Sungguh perpisahan yang berat, aku begitu menyayangi Ayah, Nola, Noah dan juga James.
Sesampainya di bandara, aku menghabiskan waktu untuk berbincang dengan seluruh keluargaku. Mungki akan cukup lama aku bisa bertemu lagi dengan mereka. Noah tidak henti-hentinya memeluk aku, dia terus berkata “Call me when you are in Indonesia, I’ll catch you up someday, sissy.” Ayah dan Nola memberi waktu untuk James untuk melepasku, mereka mengajak Noah untuk membeli burger di Hungry Jack.
“Kamu yakin akan menetap di Indonesia? Aku harap kamu hanya berlibur selama beberapa bulan saja lalu kembali ke Adelaide.” ucap James.
“James, kita kan sudah sering bahas ini. Sudah banyak perpisahan yang aku lalui, dengan ibu, kakak, teman-teman masa kecilku. Sekarang ketika usiaku sudah diperbolehkan memilih aku ingin merasakan pelukan ibu. Sebenarnya aku tidak mau memilih, tapi bagaimana lagi... Ayah sudah bahagia bersama Nola dan Noah. Aku ingin ibu pun begitu, jadi ijinkan aku kembali ke Indonesia ya. Jangan membuat aku berat meninggalkan Adelaide.”
“Shuut... sudah... sudah... maafkan aku.” James menenangkan aku yang mulai terisak. “Pergilah, temui ibumu dan katakan padanya suatu hari aku akan menemuinya untuk meminangmu. Setiap perpisahan memang tidak pernah mudah, tapi aku yakin semua akan berakhir baik. Kamu baik-baik ya di Indonesia.” lanjut James menghapus air mata di kedua pipi dan mengecup keningku.
“Iya, kamu juga ya. Mungkin aku bisa datang kemari setahun sekali, atau kamu yang menggunjungi aku di Indonesia setiap kali kamu libur, deal?” tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking. James mengaitkan kelingking dengan kelingkingku. Dia memeluku erat dan mencium kepalaku.
“James...”
“Ya?”
“James...”
“Sudah tidak perlu bicara lagi, aku rela berpisah dengan kamu Jasmine, tapi ini hanya sementara.” James sepertinya enggan melepasku, ia terus mendekapku di dadanya.
“James, please! Aku ga bisa nafas!” ucapku setelah berusaha membebaskan hidungku dari himpitan dadanya.
“Hooo... wow, I am so sorry, I didn’t mean that.” Jawabnya kaget dan melepasku. Kami berdua tertawa dengan kekonyolan yang baru saja terjadi.
“Here is for you, Sissy.” Noah datang dengan sekantung kentang goreng dan milk shake kesukaan Jasmine.
“Jasmine, sebentar lagi pesawatmu terbang menuju Sydney, kemudian ke Jakarta. Ayah sudah minta rekan ayah di sana untuk jemput kamu dan mengantar kamu ke Bandung menemui Ibu. Kamu yakin tidak apa-apa tanpa pendamping selama perjalanan?”
“Ya, I am okay, Dad.”
“Or... should come with you?” James tiba-tiba menyela.
“Nooo... James!” dengan spontan aku berteriak. Hal ini membuat Noah melonjak kemudian bertepuk tangan, dan semua tertawa.
“Ok, Jasmine, sampaikan salamku pada ibumu ya, kami sangat merindukannya, we will visit you and your mom next year. Cmon be ready, sebentar lagi kamu harus masuk dan menunggu penerbangan.” Nola memeluk dan menciumku. Disusul dengan Noah yang sedari tadi tidak bisa diam. “I am gonna miss you, sissy.” ucapnya sambil memelukku.
“I will miss you to, Noah. Be a good boy okay. Don’t forget to feed Pandy while I am away, okay!” aku berpesan agar Noah memberi makan Pandy kucing kesayanganku.
Sudah waktunya aku berpisah dengan mereka, aku memeluk ayah, dan yang terakhir adalah James, orang yang paling semangat untuk membatalkan aku pergi.
Aku berlalu meninggalkan mereka, tidak semua perpisahan harus berujung duka. Hari ini James harus dapat merelakan aku pergi demi ibu dan kakak kandungku di tanah air. Aku ingin semuanya bahagia, terutama kedua orangtuaku. Setelah lebih dari sepuluh tahun aku terpisah dengan ibu, hanya mampu mendengar suaranya melalui telepon dan video call, inilah saatnya aku bersama ibu, akuingin kesempatan kedua, aku ingin mengejar masa-masa yang hilang di antara aku dan ibu.
Sekali lagi kutoleh ayah dan keluarganya, pandanganku tak lepas dari James sedang menahan Noah agar tidak berlari menyusulku, ku ambaikan tangan untuk yang terakhir kali. Ku dengar Noah berteriak. “Bye sissy, be save, don’t die!”
Aku tersenyum mendengarnya, ditambah melihat James yang berusaha menutup mulut Noah agar tidak lagi bicara. Aku ingat, James yang telah mengajarkan Noah kata-kata itu, seperti pertama kali aku bersahabat denga James, dia selalu berpesan “Be save, don’t die!” setiap kali aku akan bepergian tanpa dirinya.
ByeAdelaide, ku titip James di akhir musim gugur ini, I’ll be back someday.
Comments
Post a Comment