Rujak Erang-Erang
Teringat kisah setahun yang lalu. Semua sudah siap, barang bawaan sudah masuk di mobil travel yang akan mengangkut kita ke bandara Hussein Sastranegara. Tentu saja aku sangat senang, ini pertama kalinya aku akan menjejakakn kaki di Sulawesi. Kami keluarga besar, akan mengantar salah seorang sepupu, anak lelaki dari paman bungsuku akan menikah denga seorang wanita Bugis.
Hanya beberapa jam perjalanan udara, sampailah kami di Makasar, Dua buah van sudah menunggu. Sebelum menuju tempat keluarga Kiki, sang mempelai wanita, kami di ajak berkeliling untuk menikmati keindahan kota Makasar. Wisata kuliner pun menjadi sebuah keharusan.
Menjelang malam kami baru diantar ke tempat peristirahatan, sebuah rumah yang sengaja di sediakan untuk kami, 15 orang dari keluarga mempelai pria. Setelah santap malam, pihak keluarga Kiki mengadakan pembicaraan dengan keluarga inti pamanku. Sementara kami yang masih dianggap muda, berjalan menikmati keadaan kota pada malam hari.
“Jangan pulang terlalu malam, besok kita akan menghadiri rangkaian upacara adat yang cukup panjang.” Pesan salah satu paman Kiki, kami mengangguk dan berlalu.
Keesokan harinya, keluarga paman sudah bersiap, entah apa yang akan mereka lakukan. Kembali anak-anak muda berencana mengeksplor bumi Sulawesi, kali ini kami akan ke pantai. Mama dan Uwa hanya akan tinggal di rumah saja, mereka masih kelelahan setelah perjalanan kemarin, dan udara hari ini sangat panas, mama tidak terlalu tahan dengan kondisi ini.
Di pintu gerbang rumah kami berpapasan dengan tiga orang pria yang membawa sebuah kotak bambu bertangkai, murip seperti tandu. Aku intip isinya, ternyata buah-buahan, kami tersenyum dan berpamitan pada mereka yang meletkan keranjang itu di teras rumah. Aku intip ternyata isinya adalah beberapa batang tebu, setandan pisang, kelapa, jeruk bali, nanas, seekor ayam dan seekor burung.
Sepulang kami dari pantai, semua ke lelahan, Mama yang memang pandai memasak membuatkan kami pisang goreng dan rujak Malaysia. Tidak lupa potongan batang tebu di atas piring, sepertinya akan mengobati rasa dahaga selepas berpanas-panas di pantai.
“Duh, Wa, kebetulan nih lagi panas, rujak Uwa pasti maknyus...” Adi, Menantu pamanku langsung mengambil mangkuk dan mengisi penuh dengan rujak buatan mama yang memang terkenal enak.
“Wiii... Pisang doreng, pas banget, Wa.” Resti istri Adi memakan pisang dengan lahap.
“Sisakan untuk Mamah sama Bapak, Neng. Pasti mereka juga mau yang segar-segar.”
Resti menelpon Bapaknya untuk cepat pulang, atau tidak kebagian rujak. Áwas, jangan dihabiskan, Bapak mau, sisain ya.” Jawab pamanku di ujung telepon
“Eh, kata Mamah, siapa yang ke pasar, itu dapat buah dari mana?”
“Oh, tadi pagi ada keluarga kiki yang bawa keranjang yang isinya buah sama ayam, Uwa bikin pisang goreng dan rujak dari buah yang di kasih tadi.”
“Aduuuuh.... itu kaaan....” Telepon terputus setelah terdengar suara bibiku berteriak.
Menjelang sore, paman, bibi, dan beberapa orang yang sudah menghadiri upacara di rumah Kiki datang. Bibi ku langsung menerobos masuk dan sedikit panik.
“Aduh, Teh, kenapa ini dibikin rujak.” Tanya bibiku.
“Ya atuh gimana, kan disuguhin, masa mau digorogotin itu nanas, sama yang lainnya, ya udah dibikin rujak aja. Itu pisang digoreng, besok bayar terigunya ke warung ya, tadi ngutang dulu.” Jawab mama polos.
Bibi setengah menangis, “Aduh, Teh itu kan buat erang-erang bawaan besok, seserahan.” Bibi menjelaskan tentang keranjang yang menjadi syarat upacara adat besok.
Mama terlihat merasa bersalah, aku kasihan melihatna, karena mama memang tidak bermaksud merusak acara besok. “Ya sudah, aku sama Adi dan Resti ke pasar ya, cari gantinya. Ayo cepet, kalian kan yang tadi makan paling banyak.” Aku mengajak mereka untuk bergegas sebelum malam.
Bibi masih terisak, dam mama masih terdiam. Tiba-tiba mama berdiri dan keluar. Aku kuatir dan menunda untuk pergi. Aku lihat mama berjalan ke belakang rumah, tak lama kembali dengan sebilah batang tebu yang panjang dan lebih bagus dari yang tadi pagi. Mama tersenyum sambil mengacungkan batang tebu.
“Naaah, aman, tebunya dapat. Ayo kalian pergi, cari yang lainnya, jangan bisanya makan aja.” Kami tertawa melihat mama membawa batang tebu, sementara bibi masih terduduk di lantai dan terisak.
Setelah semua bahan kembali terkumpul, kami masukan semua dalam keranjang. Bibi masih belum mau beranjak dari tempatnya. “Tapi kan beda, gimana kalau buah-buah tadi sudah diberi ritual atau doa-doa, kan beda.” Bibi sedikit merajuk.
“Eemh...” Mama menarik nafas melihat tingkah bibi saat itu. Mama mengumpulkan seisi rumah di teras, dan memanggil Wa Maman.
“Ayo, Kang haji, kita berdoa, supaya ga ketahuan ini buah-buahannya sudah diganti.” Mama memang lucu, bicara kandang asal nyeplos, tapi itu yang membuat semua sayang mama.
Ceritanya keren nih
ReplyDeleteHihi... itulah mama saya...
DeleteAda lagi nih ttg mama di cerita ini
http://vit4fit.blogspot.com/2018/09/antara-mama-aku-dan-panci-berwarna-biru.html?m=0