Just Saying, TERJEBAK DI JALAN YANG BENAR
Jika diingat-ingat, saya merasa tidak pernah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang guru, apalagi guru Bahasa Inggris. Bahasa Inggris pernah menjadi pelajaran yang saya hindari di SMA, sulit rasanya atau memang saya yang tidak pintar ya?
Kegemaran saya mendengarkan lagu berbahasa Inggris di radio sedikit menggugah saya dan merubah pandangan saya pada Bahasa Inggris. Saya tidak lagi merasa Bahasa Inggris itu sesuatu yang menyeramkan, saya mulai menyukai Bahasa Inggris. Namun saya lebih menganggap Bahasa Inggris itu seksi dan romantis. Karena saya belajar menyukai Bahasa Inggris melalui sebuah acara bernama “Words by Tunes” di salah satu radio di Bandung. Sebuah acara yang mengulas sebuah lagu, dibacakan lirik lagu kata per kata dan saya selalu siap dengan buku dan pulpen untuk menyalin lagu tersebut.
Namun entah bagaimana, suatu hari saya mau diajak berkunjung ke kampus tempat bibi saya kuliah, STKIP Siliwangi Bandung, yang sekarang sudah berubah menjadi IKIP Siliwangi. Dan entah hidayah atau memang sudah menjadi suratan tangan saya, akhirnya saya tertarik untuk mengikuti jejak bibi saya untuk melanjutkan kuliah di tempat yang sama.
Tapi tetap saja, untuk menjadi seorang Guru Bahasa Inggris belum sedikitpun terbersit di benak saya. Saya masuk pada tahun 1998 lulus tahun 2002, dan jika tidak salah ingat, dulu saya lebih banyak menghabiskan kegiatan di ruang Senat atau ruang Himpunan.
Hingga suatu hari saya mendapat tawaran untuk mengisi mata pelajaran mulok Bahasa Inggris di sebuah SD. Awalnya ragu, tapi mengingat hari jumat dan sabtu saya tidak mempunyai jadwal kuliah, jadi why not? Sekaligus saya menjajaki bagaimana rasanya nanti jika saya harus menjadi seorang guru. Waktu itu saya baru menginjak masa semester ke 3 di kampus.
Luar biasa rasanya! Siswa kelas 4 SD dangan kelas “gemuk” berjumlah 57 siswa jadi medan perang pertama saya. 15 menit pertama, lancaaar. Selanjutnya, ingin rasanya saya lempar meja ke arah anak-anak imut ini... hihi... Salut saya pada guru-guru SD semakin kuat sejak saat itu. Kesabaran kita benar-benar diuji. Saya dengan NOL pengalaman harus bisa menguasai 57 anak manusia dengan aneka ragam karakter dan keinginan pada saat itu.
Jurus saya selalu lagu, dengan bernyanyi mereka tenang dan suasana mulai terkendali. Tapi itu pun tidak bertahan lama, nyanyian mulai diiringi musik dari ketukan meja dan alat-alat tulis mereka bahkan sapu pun mulai berperan mengketuk-ketuk meja menjadi alat musik, dengaan irama semaunya. Chaos deh kelas pertama saya.
Saved by the bell! 70 menit yang sangat panjang rasanya. Saya pun masuk ruang guru (mungkin) dengan muka yang sedikit pucat. Mungkin ada guru di kelas lain yang terganggu dengan aktivitas kelas saya. Diluar dugaan, hampir semua guru di sekolah memberi semangat dan dorongan untuk melanjutkan “belajar” di sekolah itu, padahal keluar dari kelas tadi saya berencana untuk tidak datang lagi pada hari berikutnya.
Saya mulai merasakan suasana yang hangat di sekolah setiap jam istirahat, percakapan antar guru yang membahas segala macam, sedikit saya mulai membaca bagaimana rasanya jika saya nanti benar-benar harus menjadi guru. Berhasil bertahan hampir satu bulan, dengan penyesuaian lingkungan yang masih terus saya pelajari, sampailah saat terima honor, horror!
Diluar dugaan, ternyata jam mengajar per minggu tidak dikalikan ke empat minggu. Jadi kepikiran nih, “Kasiaaaaan amat ya ini guru honor.” Untuk ongkos pulang pergi ke sekolah aja sebulannya masih nombok, tapi saat itu perasaan saya sudah sedikit berbeda. Mungkin sudah merasa nyaman di sekolah tersebut, atau memang saya mulai menikmati aktivitas “belajar” saya di sekolah ini.
Jika memang kejaran saya dulu adalah nominal rupiah yang tinggi, mungkin saya sudah meninggalkan profesi ini bahkan sejak saya belum lulus menjadi seorang Sarjana Pendidikan, atau minimal saya akan memilih sekolah swasta dengan “reputasi” sekolah orang-orang borjuis. Tapi ternyata ada sesuatu yang memang membuat saya terus memegang profesi saya sebagai guru.
Melalui rekomendasi kepala sekolah, saya mendapat penawaran menjadi pengajar mulok Bahasa Inggris di sekolah-sekolah yang jaraknya berdekatan dengan sekolah pertama. Mulai deh terasa sibuknya jadi guru, terasa menjadi selebriti, untuk satu kelurahan, beberapa SD saya pegang untuk megajar Bahasa Inggris. Bertahan hingga lulus kuliah saya menjadi guru honor mulok di SD, dengan honor pertama saya Rp.40.000,- per bulan.
Beberapa bulan setelah wisuda, dibuka kempatan untuk ikut tes menjadi guru bantu. Lolos dan mendapat penempatan di salah satu SMP Swasta di kota Cimahi. Di SMP Pasundan 1 Cimahi saya mendapat pengalaman yang baru lagi, lain dari sebelumnya dan tuntutan untuk menerapkan ilmu sebagai guru Bahasa Inggris pun semakin besar. Pada saat yang bersamaan saya pun sedang menjadi honorer di SMP Angkasa Lanud Husein Sastranegara.
Banyak kelucuan terjadi di awal saya mengajar, saya mengajar Bahasa Inggris dengan menggunakan tiga bahasa; Inggris, Indonesia, dan Basa Sunda bahkan tidak jarang saya menggunakan bahasa Tarzan dan bahasa isyarat. Tapi disitulah bahasa kalbu saya mulai terasah, mulai bisa menyesuaikan bagaimana cara menghadapi siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan kebanyakan anak dari keluarga dengan taraf ekonomi menengah kebawah. Terkadang saya lebih menjadi teman curhat dari pada seorang guru. Beberapa anak terkesan sekolah itu adalah pelarian dari masalah yang mereka alami di rumahnya dan sekolah adalah tempat yang begitu menyenangkan untuk mereka, daripada berada di rumah.
Lokasi Sekolah yang benar-benar berada di tengah sawah dengan jarak tempuh dari rumah hampir 2 jam dengan kendaraan umum menjadi bagian kegiatan baru saya. Sekolah dengan rombongan belajar yang tidak terlalu banyak justru membuat hubungan antara guru dan siswa terjalin lebih erat. Tapi sekarang sekolah tersebut sudah mengalami banyak perubahan, dengan rombongan belajar yang banyak dan lokasi yang sudah benar-benar menjadi pusat pemerintahan kota Cimahi.
Belum genap satu tahun saya menjadi guru bantu di kota Cimahi, saya berkesempatan mengikuti tes pegawai negeri sipil di kota Sukabumi. Mencoba peruntungan di luar kota. Lolos menjadi salah seorang guru di Kota Sukabumi, saya ditempatkan di SMP Negeri 13. Tahun ini menginjak tahun ke 13 saya berada di Kota Sukabumi.
Anugerah terbesar saya saat pertama menjadi guru adalah, saya menjadi bisa untuk menjalin komunikasi dengan siapa pun. Orang-orang yang mengenal saya pasti tahu bahwa saya sebenarnya seorang yang pendiam dan pemalu, dan sekarang pun sebenarnya masih (percaya gak?).
Saya merantau seorang diri ke kota yang baru pertama saya pijak. Jika saya bukan seorang guru mungkin saya akan sedikit kesulitan untuk memulai segala sesuatunya di tempat baru. Tapi dengan “label” guru pada diri saya, sapaan pun akan menyapa saya dengan ramah. Guru selalu mendapat tempat di hati masyarakat manapun.
Saya bersyukur telah terjebak di jalan yang benar. Meskipun saya hanya seorang guru biasa yang belum banyak membuahkan prestasi dalam karir saya, namun saya sangat bangga dengan profesi saya sebagai seorang guru. Sebenarnya guru adalah sebuah pekerjaan yang tidak memiliki masa pensiun.
Saya teringat sebuah percakapan dengan seorang petugas pembuat E-KTP di kecamatan Lembursitu, beberapa tahun yang lalu, ketika ia menanyakan pekerjaan saya.
“Saya guru, Pa.” jawab saya singkat.
“PNS?”
“Alhamdulillah.”
“Saya tulis PNS saja ya, Bu, di KTP-nya?”
“Ga usah pa, cukup guru saja.” Cegah saya.
“Loh, ibu tidak bangga jadi PNS, susah loh, Bu, banyak yang mau d KTP tertulis sebagai PNS.”
“Duh, Punten pa, bukan maksud tidak bersyukur dengan rezeki yang sudah saya terima, hanya saja kalo PNS kan ada expire-nya, Pa, sedangkan guru sampai uzur juga masih bisa mengaku guru, Pa.” jawab saya spontan sambil cengegesan. Saya khawatir jawaban saya akan menyinggungnya.
“Oh iya, ya, baru ngeh saya.” jawab bapak petuga E-KTP. Dan kami pun terlibat percakapan seru seputar guru dan pendidikan. Beliau pun berharap kelak salah satu dari anaknya ada yang mampu menjadi guru.
Comments
Post a Comment