HANNY
- Get link
- X
- Other Apps
Ini adalah hari kedua Hanny berada di kota Ciamis, setelah hampir satu bulan ia
menjelajahi beberapa kota di pulau Jawa untuk mengunjungi anak-anaknya.. Harapan yang besar
ia tumbu pada Deni anak sulungnya yang sejak kecil tinggal bersama keluarga Mantan suami
pertama Hanny. Jika dihitung, usia Deni mungkin sekarang sekitar 18 atau 19 tahun.
Pertemuan yang mengharu biru, pada awalnya Deni menolak bertemu ibu kandungnya.
Setelah beberapa saat Mang Ayud membujuk Deni, akhirnya kedua ibu dan anak itu pun bisa
bercengkrama melepas kangen, setidaknya untuk Hanny.
“Mang Ayud bilang, Mama akan mencarikan aku kerja di salah satu keluarga mama yang
kaya di Bandung?” tanya Deni. Rupanya ini yang membuat Deni akhirnya mau berbicara dengan
Hanny, pekerjaan. Deni memang baru saja lulus dari sebuah SMK.
“Mama usahakan ya, nanti mama kabari kamu lagi melalui Mang Ayud. Bapak kamu
teleponnya udah gak bisa dihubungi.” Jawab Hanny tidak ingin mengecewakan Anaknya.
“Bapak sudah dengan keluarga barunya, jadi kadang ga peduli. Mama belikan saja aku
hp, jadi bisa langsung hubungi aku. Aku juga butuh motor untuk ngojek, sebelum aku dapat
pekerjaan di Bandung. oh , juga laptop, supaya aku bisa belajar komputer juga membuat
surat-surat lamaran kerja.” Seribu permintaan dilontarkan Deni, seolah ia menuntut semua itu
sebagai pengganti 14 tahun masa yang hilang bersama ibu kandungnya.
Hanny tidak kuasa menolak, walau ia pun sebenarnya tidak sanggup untuk memenuhi
semua permintaan Deni. Hanny sekarang adalah istri seorang lelaki yang memiliki empat anak
perempuan yang menjadi tanggungannya. Pekerjaan Hanny yang hanya sebagai penjaja barang
kreditan di terminal Leuwi Panjang, harus ikut membiayai keluarga barunya.
Keluarga Hanny sebenarnya orang yang terpandang, hanya saja sebuah kesalahan di
masa remajanya telah membuatnya terpisah begitu jauh dari keluarganya. Di usianya yang belum
genap 17 tahun Hanny sudah meninggalkan rumah karena permintaannya untuk pindah sekolah
di tolak orangtuanya. Dalam pelarian itu ia terdampar di sebuah rumah seorang dosen tua yang
hidup hanya dengan beberapa orang pembantu saja. Kemolekan Hanny saat itu mampu mengisi
kekosongan sang dosen, Hanny mendapat tawaran untuk mengisi bangunan utama di rumah itu,
berbeda dengan pembantu lainnya.
Dugaan Hanny yang akan diadopsi menjadi anak angkat ternyata meleset, sang dosen
menginginkannya untuk dijadikan istri. Segala kebutuhan Hanny dipenuhi dengan syarat, tidak
selangkahpun Hanny boleh meninggalkan rumah. Pupuslah sudah harapannya untuk dapat
menikah dengan seorang dari kalangan militer. Sejak saat itu Hanny menjadi tahanan rumah dan
selalu diperlakukan bak boneka porcelain yang mudah pecah. Siksaan secara verbal sering
Hanny terima tatkala si dosen tua didera rasa cemburu ketika Hanny mengutarakan keinginannya
untuk sekedar jalan-jalan di luar rumah.
Sampai suatu saat ia berkesempatan kabur dan melarikan diri tanpa tujuan dengan
menggunakan bis yang sembarang ia naiki, di sanalah ia bertemu Budi, Ayah Deni yang akhirnya
menjadi suami pertamanya. Menginjak usia Deni yang ke empat, Hanny meninggalkan keluarga
demi penghidupan yang lebih baik dan mengejar keinginannya untuk bisa menjadi istri seorang
tentara.
Tidak begitu lama, Hanny menikah dengan Toni yang pada awalnya ia kira seorang
tentara. Tapi karena tanggung jawab Toni dan kegigihan menaklukan hati dan keras kepala
Hanny, mereka bisa menjalanni rumah tangga dengan tentram dengan dua anak laki-laki dan
seorang anak perempuan. Hanya saja kebahagiaannya tidak berlangsung lama, sejak awal
pernikahan, ibu mertua Hanny selalu menganggapnya “wanita pembawa sial” begitu pun ketiga
anaknya.
Kejadian semakin memburuk ketika Toni meninggal karena angin duduk. Hanny dan
ketiga anaknya tidak lagi mempunyai tempat di keluarga Toni. Mereka harus pergi tepat pada hari
ke 40 kematian orang yang mereka sayangi. Berbulan-bulan mereka bertahan hidup tinggal di
rumah petak di lingkungan terminal, hingga akhirnya ia harus merelakan ketiga anaknya di titip di
keluarga besar Toni secara terpisah.
“Ini demi kebaikan kalian ya, kalian tinggal bukan dengan orang lain. Mereka itu Pak De
dan Bude kalian, nak. Kalian akan diurus dengan baik, Mama akan kembali jemput kalian jika
mama sudah punya tempat tinggal.” itu kalimat terakhir yang sempat Hanny lontarkan pada
ketiga anaknya.
Kini ia merasakan akibat dari perkataannya itu, bertahun tahun Hanny berpisah dengan
ketiga anaknya dari Toni, ia sempat menikah dan pergi menjadi TKW ke Dubai selama enam
tahun. Jika memang saat itu lelaki yang Hanny nikahi adalah seorang yang baik, mungkin mereka
sudah memiliki sebuah rumah yang lebih dari layak. Sayangnya, ketika Hanny pulang, ia
hadapkan dengan kenyataan bahwa seluruh uang yang ia kirim telah menjadi sebuah rumah,
sawah dan sebuah motor besar, tapi semua atas nama istri baru suaminya.
Kembali Hanny menelan pil pahit. Ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali pada
keluarga besarnya yang telah puluhan tahun ia tinggalkan, itu pun karena kabar bahwa ibunya
meninggal dunia, setelah beberapa bulan sebelumnya ayahnya terlebih dahulu meninggal.
“Masih ingat pulang ya? Atau mau ambil jatah warisan?” Ucapan adik Bungsu Hanny
menyambut kedatangannya, dan pertengkaran pun tidak bisa di hindari. Apalagi setelah ke
delapan saudaranya mendengar Hanny telah menitipkan ketiga anaknya pada keluarga
suaminya. Tuduhan sebagai ibu yang telah menerlantarkan anak-anaknya mengarah pada
Hanny. Seolah semua kesalahan di dunia ini Hannylah penyebabnya.
Hanny kembali meninggalkan rumah masa kecilnya, kali ini dengan beban yang sangat
berat dari biasanya. Kehilangan kedua orangtua tanpa sempat meminta maaf atas segala yang
telah terjadi. Keinginan dihatinya kini hanya satu, kembali berkumpul bersama semua anaknya.
Kembali di pertemukan denga jodohnya, Hanny menikah untuk keempat kalinya, kali ini ia
sudah melupakan keinginannya berkeluarga dengan seorang tentara. Dan saat ini suaminyalah
yang mengantar Hanny untuk menelusuri keberadaan semua anak-anaknya.
Surabaya, Kota pertama yang Hanny tuju, di sana Nikita berada. Anak bungsunya yang
sekarang seharusnya sudah duduk di kelas 3 SD. Seperti hati disayat sembilu, Nikita sama sekali
enggan menatap wajah ibunya. Bahkan setelah sekantong makanan kesukaannya disodorkan.
Melalui ibu angkatnya, Nikita menyampaikan agar Hanny tidak datang dan membawanya lagi
keliling dari satu terminal-ke terminal lain, “Aku cape, bu, bilang sama Mama, aku mau disini
saja.”
Hanny tidak bisa menyalahkan sikap Nikita, memang sejak usianya balita, ia sering sekali
membawa Nikita berjalan menawarkan barang kreditan ke para kru bis dan pedagang di terminal.
Mungkin Nikita mengalami trauma atas kejadian itu. Hanny pun pergi tanpa sempat memeluk
Nikita sebagai ucapan perpisahan.
Malang adalah tujuan berikutnya. Alta berada disini, dibawah pengasuhan pamannya
yang seorang pengacara terkenal. Dirumah itu Hanny tidak dapat menemukan Alta, Alta sedang
ada dalam perawatan sebuah pesantren karena sempat mengalami over dosis obat terlarang.
Kembali air mata Hanny menetes, hampir saja hatinya tidak sanggup mendengar semua
penjelasan dari ayah angkat Alta. Bagai mana Alta pernah dipukuli masa karena mencoba
merampas tas seorang ibu. Alta pun 2x berpindah sekolah karena masalah pencurian juga, Anak
itu membutuhkan uang untuk memenuhi hasratnya akan obat-obatan terlarang, hingga ia di
temukan beberapa waktu lalu tergeletak di pinggir kota karena over dosis.
“Mbak, biar Alta di sini saja dulu, biar dia di tanganni oleh ahlinya dan jadi normal kembali.
Bulan lalu dia sempat akan bunuh diri karena kami larang keluar rumah, badannya sedang
panas. Mbak percaya saja, jangan dulu temui Alta, dia pernah bilang kecewa sama mbak karena
dia di titip disini dan dipisahkan dengan saudara-saudaranya.” Hanny hanya bisa terisak dalam
mendengar hal tersebut. Akhirnya dengan beban yang semakin bertambah ia pergi, menuju
Yogyakarta tempat Agi anak sulung dari Tomi berada.
Hatinya sedikit terobati dengan kabar yang ia terima dari Agi. Agi baru saja lulus SMK,
dengan nilai terbaik dan ia sudah mendapat tawaran kerja di sebuah perusahaan yang lumayan
bagus. Agi sedikit lebih dewasa dibanding kedua adiknya. Agi sanggup menjaga ucapan pada ibu
kandungnya, walau terlihat pula kekecewaan diantara obrolannya. Terutama setelah Hanny
memperkenalkan suami barunya.
Pertemuan Hanny dengan keempat anaknya memang tidak bisa dibilang
membahagiakan, tapi ia masih bersyukur mereka berada di tempat yang tepat, setidaknya untuk
saat ini. Mereka mendapat pendidikan yang layak, terawat dengan kasih sayang orang-orang di
sekitarnya, dan kebutuhan fisik mereka semua terpenuhi dengan baik.
Perjalanan Hanny belum usai, masih pada jalan yang berliku dan penuh batu sandungan,
Hanny harus mengurus empat orang anak suaminya yang berperangi cukup keras, sama keras
kepala seperti ayah mereka. Hati Hanny sebenarnya lelah, sampai segala sakit yang pernah ia
rasakan membuat hatinya sedikit imun dengan hal-hal yang mungkin menyakitinya lagi. Satu
yang menjadi kekuatannya, keempat anaknya yang ia harap suatu hari mereka dapat berkumpul
kembali
- Get link
- X
- Other Apps
kenapa Hanny seperti sellau jatuh tertimpa tangga?
ReplyDeleteCobaan hidup tak pernah berhenti
Iya, dan ini hanya sepenggal saja dari cerita Hanny yang kadang saya temui di alun-alun kota bandung
Deleteaku meninggalkan jejak di blog ini...
ReplyDeleteSekali2 ninggalin upeti dong pak De..
DeletePelik banget hidupnya ya ampun 😢😢
ReplyDeleteya ampun
ReplyDeleteBagus cerita si Hanny. Lanjutkan ceritanya di postingan lain bisa ini.
ReplyDeleteTapi, penampilan blogpostnya via hp mungkin bisa diatur lagi kak supaya gak melebar ke samping.