CERPEN, The Lucky Number Nine


Seumur hidup aku tidak pernah lepas dari angka 9, seperti sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa aku tolak. Aku dilahirkan di bulan 9, pada tanggal berkelipatan 9 di akhir tahun 70an. Aku anak bungsu dari 9 bersaudara dan ibuku adalah istri ke 9 ayahku, yang terakhir inilah yang tidak pernah aku ceritakan pada siapapun.

 Mungkin aku termasuk orang yang superstitious, aku percaya ramalan-ramalan dari para sesepuh di keluarga terutama nenekku. Kadang aku sangat memperhatikan segala sesuatu berbau pamali dan tahayul, bahkan sepertinya aku terlalu mematuhi kedua kata tersebut. 
Selama ini aku selalu merasa menjadi orang yang paling beruntung. Semua nilai akademik selalu berada di atas teman-teman satu angkatan, aku dikenal brilliant dalam memecahkan masalah di bidang akademik, tidak pernah ada tugas yang tertunda, semua bisa terselesaikan tepat waktu dengan sempurna hingga setiap mahasiswa di kelas selalu memilih untuk bisa satu kelompok denganku. 

Aku menutup mata tujuan mereka mendekatiku, apakah memang ingin kubagi ilmu atau hanya sekedar memanfaatkan kemampuanku. Selama hati ini terpuaskan aku tidak peduli apa yang mereka inginkan. Aku tetap yang paling unggul di antara mereka. Dan pada akhirnya aku lolos dengan predikat “Cumlaude” dengam IPK 3.9, nyaris sempurna.

Almarhumah nenek pernah meramalkan bahwa suatu hari aku akan menemukan seorang jodoh yang sempurna, seseorang yang dekat dengan pemerintah dan mempunyai jabatan tinggi. Hal ini sudah aku dengar sejak kecil, dan terpatri kuat di benak, hingga aku tidak pernah lagi khawatir mengenai masalah perjodohan, aku yakin ramalan  nenekku akan menjadi nyata. Namun baru aku sadari sekarang sebenarnya itu adalah doa nenek untuk cucunya agar mendapat jodoh terbaik.

“Cahya! Cahyani!” kubalikan badan ke arah suara, Octy ternyata. “Undangan, minggu depan Sovia nikah, bareng ya.” Octy menyodorkan selembar undangan berwarna ungu muda.

“What! nikah? Mendadak amat, baru sidang, wisuda aja belum” Aku sedikit terkejut.

“Ga mendadak juga kali, kita aja yang ga tahu persiapan mereka.” Jawan Octy.

“Tapi biasanya Sovia cerita segala macam ke aku, ini kok rahasia begini ya, ga suka deh. Kenapa aku tau dari kamu Ty?” Ingin rasanya aku protes dengan kabar ini.

“Dih, emang siape elu!” Suara  Yudi tepat di telinga kanan dan ini membuatku kaget.

“Bukan gitu Yud, biasanya kalo soal Sovia pasti gue  yang tau duluan.” protesku. Aku berbalik meninggalkan mereka dan mencari Sovia untuk meminta penjelasan tentang hal ini.

Kutemui Sovia di tempat penjilidan makalah, tanpa membuang waktu kuungkapkan semua tanya pada Sovia. Sebuah jawaban yang mengejutkan aku terima.

“Doakan kami ya Cahya semoga pernikahan kami barokah. Bukan maksud merahasiakan, tapi biarlah urusan ini menjadi urusan pribadi saya dan keluarga ya. Kamu tinggal duduk manis dan menjadi tamu di resepsi kami, sama dengan teman yang lainnya.” Sovia tersenyum dan memegang lenganku.

“Tapi kamu yakin dengan calonmu, aku lihat di undangan tanpa gelar. sementara kita sarjana, kamu ga sayang cuma jadi ibu rumah tangga, ga coba dulu berkarir? Kamu yakin bisa hidup dengan seorang pedagang yang penghasilannya kadang tidak tentu?”

“Sudah Ca.. Saya tahu kamu ga bermaksud jelek, tapi sudah cukup selama ini kamu banyak mengatur kegiatan saya, cukup mencampuri urusan saya, jangan pernah coba-coba mempengaruhi keputusan saya seperti yang sudah-sudah. Saya tunggu kadatangan kamu ya, terima kasih sudah menjadi teman yang baik untuk saya selama ini. Maaf ya saya mungkin kasar, tapi mestinya saya bilang ini sejak dulu. Saya duluan ya, Assalamu’alaikum.” 

Masih dalam kondisi hati yang tidak karuan aku melihat Sovia berlalu, lambaian khimar panjang yang tertiup angin seolah lambaian perpisahan Sovia untukku. Sovia selama ini aku anggap sebagai sehabat yang paling baik, selalu mengerti kemauanku, selalu mendengarkan aku, apa mungkin selama ini dia berpura-pura atau terpaksa berteman denganku. Aku ingat perkataannya ketika mengajak untuk berhijab, saat itu aku jawab bahwa aku akan berhijab ketika aku menemukan jodoh dan menikah.

“Bagaimana jika maut datang terlebih dahulu sebelum jodoh kamu?” pertanyaan sederhana yang akhirnya membuatku memutuskan untuk berhijab, walau masih sekedar menutup kepala saja, belum seperti dia yang benar-benar sudah syar’i.

 Ditengah galauku setelah percakapan terakhir dengan Sovia, aku tetap memutuskan untuk datang memenuhi undangannya. Octy menjemput ke rumah, kita akan berangkan menggunakan motor yang baru saja aku beli. Octy akan menjadi supirku, karena dia memang belum memiliki kendaraan dan aku belum begitu lancar menggunakan motor yang kumiliki.

“Tante juga heran, kenapa Cahya ga tinggi-tinggi, jarang olahraga kali ya, padahal tante dulu suka banget main basket, berenang, naik sepeda, tapi kok ga satu pun anak tante yang suka olahraga ya? Hahaha....” terdengar suara Mama sedang menemani Octy di teras rumah, dan membicarakan aku.

“Octy sudah mulai cari-cari kerja belum?” terdengar Mama bertanya.

“Alhamdulillah tante, beberapa kali panggilan interview, tinggal menunggu pengumuman lolos tidaknya.”

“Duh Alhamdulillah ya, Cahya pernah melamar beberapa kali, tapi dia ditolak karena dianggap penampilannya kurang dewasa.”  Mama benar, dan karena itu aku tidak ngotot bisa diterima di sebuah perusahaan, aku yakin aku akan mampu membuat usaha sendiri dan membuka peluang untuk orang lain.  Apa yang orang lain bisa lakukan aku pun bisa, bahkan yang orang lain tidak mampu, aku harus bisa melaksanakannya. 

Memang tinggi badanku di bawah tinggi badan kawan-kawanku, sehingga motor yang kubeli pun harus disesuaikan tingginya agar bisa dikendarai dengan nyaman. Sementara ini Octy lah yang menjadi guide untuk latihan mengendarai motor. Tinggi badanku ini membuat semua teman kadang memperlakukan layaknya aku adik kelas atau anak kecil, padahal usiaku dua atau tiga tahun di atas mereka. Kadang mereka memanjakan aku sepertinya aku anak termuda di antara mereka.

“Emm.. Mama ngomongin aku sampe segitunya...” tegurku pada Mama yang sedang tergelak bersana Octy. 

“Ih tapi kan Mama selalu mendoakan anak-anak mama supaya cita-citanya yang setinggi langit tercapai dan selalu dilancarkan rezekinya, juga buat Octy dan kawan-kawan Cahya lainnya.” Mama mengusap kepala dan pipi kemudian mencium keningku.

“Aamiin...” jawabku dan Octy hampir bersamaan.

Hampir setiap hari Octy datang ke rumah untuk mengajariku mengendarai motor, sebetulnya dalam waktu dua bulan aku sudah mulai lancar hanya saja untuk jarak yang lumayan jauh, aku masih lebih percaya pada Octy. 

Sesampainya di gedung resepsi, aku mencari teman-teman untuk bergabung, sementara Octy masih berada di parkiran. Terlihat beberapa teman di salah satu sudut di antara kumpulan tamu undangan. Gedung tampak penuh sesak, berusaha bergabung bersama teman-teman, aku terobos kumpulan orang yang lumayan berdesakan.

Beberapa langkah lagi jarakku dengan mereka, aku menahan langkah ketika terdengar namaku disebut salah seorang dari mereka dan disambut derai tawa yang lainnya. Rupanya mereka sedang membicarakan aku. Posturku yang tidak terlalu tinggi memberi kesempatan aku untuk lebih lama mendengarkan pembicaraan mereka tanpa menyadari kehadiranku.  

“Pernah dia nginep di rumahku, segala dia komentarin, posisi toren ati miring lah, cara aku ngulek sambel, mie goreng yang urutan masaknya ga sesuai, kamarku yang dibilang mirip kamar ABG, ujung-ujungnya bilang jangan ngeduluin dia nikah...” 

Aku sudah tidak peduli siapa yang berbicara, yang pasti memang mereka membicarakan aku, semua itu memang pernah aku ucapkan, tapi kan aku bercanda, ternyata mereka menganggap segitu seriusnya.

“Yang aku ga habis pikir, kok bisa ya dia selalu ngerasa lebih bener dari yang lain. Kalo pinter sih emang aku angkat jempol deh, tapi kan itu pun karena selama 2 tahun sebelun dia kuliah, dia punya waktu buat kursus Bahasa Inggris dan lain-lain jadi emang kemampuan dia lebih dari kita, wajarlah.” 

“Kasian si Octy, mau-maunya jadi driver, tapi ujung-ujangnya dibilangnya si Octy yang numpang fasilitas dia, Aneh ya tu anak!”

“Aku sih taunya si Octy emang pernah pinjem duit gede ma dia, dan besoknya dia sesumbar depan kita-kita, kalo cuma dia yang mau nolong si Octy, mana ada temen lain yang bisa seperti dia minjemin duit gede. Sayang banget ya, gitu orangnya.”

‘Eh, kamu inget waktu dia bakar tugas si Neni depan umum gara-gara ketauan nyalin tugas dia di salah satu bab?”

“Yang paling sering tuh, dia selalu kasih komentar kurang bagus ke kita yang mulai deket sama cowok atau kita yang lagi pacaran. Selalu ada yang dimasalahin, inilah itulah, kayanya ga rela banget liat orang pacaran.” 

“Eh, minggu lalu katanya dia sempet protes juga soal pernikahan Sovia ini, segala gelar dimasalahin, apa maunya sih?”

“Iya, luar biasa ya, Jagoan! Hahah..” tawa mereka terdengar lagi.

Sepertinya pandangan mereka semua terhadapku selama ini tidak ada satupun yang baik. Aku urungkan niat untuk bergabung dengan mereka. Baru saja aku hendak berbalik dan pergi, Yudi dan Octy sudah ada di samping dan memperhatikanku, sepertinya mereka pun mendengar obrolan tadi. Mereka memandang iba padaku.

“Kunci motor, aku pulang sendiri aja, sekarang. Kamu lanjut aja ya Ty.” Aku meminta kunci motor dan melangkah ke parkiran, meninggalkan pernikahan Sovia tanpa sempat mengucapkan selamat, aku terlalu sedih dengan apa yang sudah kudengar.

***

Kejadian yang sudah hampir 15 tahun berlalu tapi masih belum dapat aku lupakan. Sejak itu aku menarik diri dan menutup komunikasi dengan teman-teman. Awalnya aku menganggap mereka tidak adil terhadapku, setelah segala bantuan yang aku berikan pada mereka. Tapi semakin terpikir bahwa memang ada sikapku yang mungkin tidak bisa mereka terima. 

Beberapa waktu setelah itu, terus berdatangan undangan pernikahan teman-teman yang tidak satu pun aku hadiri. Sampai saat ini, aku memegang undangan pernikahan Octy dan aku berniat untuk hadir. Octy-lah satu-satunya yang masih sering menanyakan kabarku selama ini. Octy yang pernah aku khianati dengan menyebarkan cerita tentang pertolongan yang aku berikan untuk dia, demi menunjukan hanya aku yang mampu menolongnya pada saat itu.

Tiba-tiba saja aku merasa angka 9 bukan lagi angka keberuntungan buatku. Semua temanku sudah menikah, menyusul Octy dan hanya aku yang masih menunggu datangnya jodoh yang diramalkan mendiang nenek. Di usiaku yang hampir meninggalkan 39 tahun, aku masih berharap ramalan nenek akan terwujud. Hingga aku menolak beberapa pinangan yang pernah datang.

Pinangan yang aku tolak mungkin adalah karma yang aku terima dari apa yang pernah aku ucapkan pada calon suami teman-temanku dulu. Aku menolak jika bukan pegawai pemerintahan yang datang, aku menolak jika dia bukan seorang yang memiliki jabatan, aku menolak karena ketakutanku akan lelaki yang akan hanya berlindung di balik kekayaan keluargaku. Hingga pada akhirnya aku lelah menunggu dan memasrahkan pilihan pada Mama.

Sudah beberapa bulan Mama menjalin silaturahmi dengan beberapa kawan lama. Hingga suatu hari seorang kawan Mama yang bernama Om Burhan, mulai sering berkomunikasi. Ia memiliki anak lelaki yang baru menyelesaikan beasiswanya S2 di Cairo.

Harapan  mulai kembali berkembang, melihat kawan mama sangat sering mengunjungi kami, walau belum pernah sekalipun anaknya, Arya, ikut untuk bersilaturahmi. Mudah-mudahan silaturahmi Mama dan ayah Arya menjadi kabar baik di rumah ini. Kedelapan kakakku pun sudah sangat menantikan aku, adik bungsunya, untuk berkeluarga.

Hingga suatu saat aku mencuri dengar pembicaraan diantara mereka, Ayah Arya menyampaikan akan datang melamar di akhir bulan ini. Berbunga rasanya hati ini, mungkin inilah waktu yang sangat aku nantikan. Aku meninggalkan mereka tanpa mendengar pembicaraan selanjutnya.

Pada malam hari Mama mengumpulkan kami anak-anaknya untuk mengutarakan sesuatu. Aku berpura-pura tidak mengetahui rencana mama dan Ayah Arya. Aku berusaha menenangkan diri dan tidak bereaksi berlebihan. 

“Mama kumpulkan kalian semua untuk minta pendapat, mudah-mudahan kalian tidak keberatan.” Mama mulai membuka pembicaraan.

“Sudah beberapa bulan Om Burhan dan Mama kembali bersilaturahmi setelah sekian lama kami tidak ketemu. Tadi siang Om Burhan bilang akan datang bersama anaknya untuk melamar.” lanjut Mama. Aku hanya tertunduk walau dalam hati aku tersipu senang.

“Om Burhan punya seorang anak laki-laki, dan dia sudah lama ditinggal istrinya yang meninggal karena sakit. Karena Mama pun sudah lama ditinggal Papa kalian, Om Burhan berniat menyambung silaturahmi dengan meminta Mama menjadi istrinya, bagaimana menurut kalian?”

Tersentak hati ini, aku pandangi Mama yang masih berbicara, namun aku tidak dapat mendengar apa yang Mama katakan, pusing rasanya seperti telinga ini tersambar bunyi geledek yang sangat keras. Terlihat pula beberapa pasang mata memandang kearahku, lagi-lagi tatapan iba yang terlihat.

“Mama sudah punya jawaban?” Tanya kakak sulungku. Mama hanya mengangguk pelan.

Entah aku akan bereaksi seperti apa jika mama menerima lamaran itu, mama sudah cukup tua tapi masih memiliki daya tarik dihadapan Om Burhan. Sementara aku yang sudah terlanjur berharap bahwa lamaran itu adalah untuk aku, mungkin akan terjatuh dari tempat duduk karena lemas. Aku sudah terlanjur berharap.

“Tapi Mama sudah merasa cukup, Mama sudah tidak memikirkan kepentingan untuk mencari pengganti Papa. Mama sudah cukup senang dengan di kelilingi anak dan cucu-cucu Mama. Jadi Mama akan menolaknya” ucap mama setelah cukup lama terdiam, kemudian mendekati dan duduk di sebelahku.

“Maksud Mama bersilaturahmi dengan Om Burhan adalah untuk kamu Cahya. Tapi setelah kejadian hari ini, Mama akan menjawab Tidak dan menjaga jarak dengannya. Kamu Sabar ya sayang, Seseorang yang baik pasti sudah Allah siapkan untuk kamu.” Mama menciun keningku. Aku memeluk mama erat, aku telah menjadi beban untuk Mama selama ini.

Dalam pelukan mama aku berdoa, semoga Allah memaafkan semua kesalahan yang sudah menjadi hijab di antara aku, rezeki dan jodohku. Semoga masih ada kesempatan aku memperbaiki segala kesalahan yang aku telah perbuat. Betapa keangkuhan telah menjadi tameng untuk menutupi segala kekuranganku, aku telah menjadi manusia yang kurang bersyukur atas apa yang telah Allah berikan padaku.

Aku masih terus berharap bahwa jodohku masih ada di luar sana, dan akan tiba jika saatnya tepat. Aku harus menyelesaikan dulu beberapa masalah di masa lalu. Aku akan hadir di pernikahan Octy dan berharap bisa bertemu dengan teman-teman untuk meluruskan apa yang sudah terjadi. Aku yakin Allah akan memudahkan niatku.



Comments

Popular posts from this blog

Y Chart