WARUNG PAK EDI



Selepas shalat subuh tiba-tiba saja aku ingin jalan-jalan di sekitar rumah. Kebetulan udara tidak terlalu dingin selepas hujan sepanjang malam tadi.


Berbekal senter aku melangkah ke luar rumah, kutelusuri gang kecil dari rumahku menuju jalan raya. Beberapa kali berpapasan dengan bapak-bapak yang kembali dari masjid.


Sepertinya aku akan lansung menuju warung sayurnya Mang Mami, biasanya setengah enam pagi sih masih beres-beres, tapi ga apalah biar ditunggu sambil jalan-jalan.


Aku mengambil arah berlawanan untuk mengulur waktu dan sedikit  gerak badan, lumayan itung-itung olahraga. Aku memutar arah ke belakang warung sayur menuju jalan beraspal supaya lebih nyaman melangkah.


Masih sepi dan kendaraan pun masih jarang. Pantaslah, ini masih jam lima lewat. Dari kejauhan aku melihat sebuah cahaya bergoyang-goyang, sepertinya dari sebuah senter. Mungkin ada orang lain yang sama denganku, berjalan menikmati udara subuh yang hangat ini.


Sepertinya cahaya senter itu berenti di satu tempat, warung pak Edi. Aku matikan senter karena di sekitarku ada beberapa lampu jalan walau tidak terlalu terang.


Aku amati sosok di depan warung pak Edi, tampak bergerak ragu dan itu bukan Pak Edi. Aku mengendap ke arah warung, berusaha mencari tahu lebih dekat. Aku berlindung di balik pohon-pohon di sekitar agar bayanganku tidak terlihat.


Benar, laki-laki itu bukan pak Edi, ia seorang pemuda yang rasanya bukan penduduk sekitar sini. Dia mengeluarkan sebatang besi, sepertinya linggis.


"Pasti maling." Pikirku

Aku sedikit tegang dan tak tahu harus berbuat apa, jika aku berteriak mungkin saja dia akan balik menyerang dan memukulku dengan linggisnya. Aku perempuan, tenagaku mungkin tidak sebanding jika harus melawan dan linggisnya itu yang membuatku seram.


Masih dalam suasana yang menegangkan, aku lihat dari kejauhan ada sosok lain mendekati warung. Dari posturnya aku mengenali pria tersebut, itu pak Edi pemilih warung.


"Alhamdulillah" ucapku dalam hati sedikit lega.

Pak Edi berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkah dengan lebih cepat, sepertinya dia menyadari ada orang yang akan membongkar warungnya.


Kembali aku merasa tegang, akan kah terjadi baku hantam ntra mereka. Pak Edi berdiri tidak jauh dari orang tersebut, dia terdiam. Tiba-tiba terdengar pemuda itu bicara dalam Bahasa Sunda.



"Hey maneh, kadieu, pantona beulah dieu. Buru bantuan aing ke bagi dua beubeunanganna"

("Hey kamu, sini, pintunya sebelah sini. Cepat bantu saya nanti hasilnya kita bagi dua")


Rupanya dia mengira pak Edi juga orang yang akan mencuri. Dalam hati aku ingin tertawa, tapi aku masih merasa tegang melihat kejadian di depan mataku ini, sampai keringat dingin rasanya.


Pak Edi terlihat mendekat dan bicara, juga dalam Bahasa Sunda.


"Na ari sia ngariripuh maneh, eta di handap aya koncina. Dieu ku aing dibuka gembokna."

("Kamu ini gimana menyusahkan diri sendiri, tuh di bawah ada kuncinya. Sini biar saya yang buka kuncinya.")

Pak Edi bungkuk, sepertinya berpura-pura mengambil kunci, dia membuka gembok lalu terdengar bicara lagi.


"Jug asup, buru ku aing dijagaan di dieu."

("Sana masuk, cepat saya jaga disini.")


Pemuda itu terlihat masuk dengan cepat, pak Edi dengan tenang bergerak menutup pintu dan mengunci kembali gembok di pintu warung.



"SOK JANG BEAKEUN WE EUSI WARUNGNA, KU AING DIKEREM SIA DI JERO"

("SILAHKAN NAK  HABISAKAN SAJA ISI WARUNGNYA, SAYA KURUNG KAMU DI DALAM")


Pak Edi tertawa  gembira, aku pun akhirnya ikut tertawa dan keluar dari tempatku bersembunyi. Pak Edi meminta bantuanku untuk memanggil ketua RT untuk mengurus masalah ini. Aku berangkat memenuhi permintaan Pak Edi, tapi aku tidak kembali ke warung Pak Edi jadi aku tak mengetahui kelanjutan dari nasib pemuda yang Pak edi kurung di warungnya. Hanya pada siang harinya tersebar kabar barwa dia sudah diserahkan ke kantor polisi.




Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Y Chart