CERPEN, Si Tiger



Sudah tidak banyak kenangan bersama Kakek yang aku ingat dengan jelas, karena Kakek meninggal ketika usiaku belum genap 8 tahun. Sudah cukup lama, hampir 30 tahun, potongan kenangan yang tidak banyak kuingat tapi begitu berarti. Kakek selalu membawaku berjalan keliling kampung setiap pagi dengan mendorong sepedaku, membawaku berkumpul sebentar dengan teman-temannya yang sama-sama sudah tua di sekitar balai desa, dan selalu membelikan kue bandros kalapa atau surabi oncom untuk aku santap bersama Nenek dan Ibu di rumah.

Kue semprong kesukaanku tidak pernah lupa beliau bawakan ketika pulang mengambil pensiun setiap bulannya. Dengan sepeda ontelnya Kakek biasa bepergian, peci hitam, kacamata berbingkai kotak hitam dan tongkat yang juga berwarna hitam menjadi ciri khas sehari-harinya. Satu benda lagi yang selalu beliau bawa, pipah bakobegitu kami menyebut cangklong yang selalu Kakek bawa kemanapun beliau pergi.

Aki Uju, begitu kami memanggilnya. Aki suka sekali bercerita tentang masa mudanya, masa dimana Aki dan Nini Dar, nenek kami mengurus ke sebelas anak-anaknya yang memiliki sifat dan kemauan yang berbeda-beda. Aku sering tertawa mendengar cerita Aki yang selalu di sertai gerakan-gerakan badan yang lucu.

Aki juga sering bercerita tenteng sepeda ontel yang usianya jauh lebih tua dari aku. Berkat sepeda itulah Aki bisa bertemu Nini dan menjadi sepasang kekasih sampai akhir hayat mereka. Selepas Aki tutup usia karena sakit, Nini pun masih terus menjaga sepeda ontel peninggalan Aki. Nini bilang sepeda itu selalu ikut kemana pun mereka pergi, hingga masa perang pun, ketika mereka harus mengungsi dari Bandung ke Yogyakarta dan kembali lagi ke Bandung, hanya anak-anaknya dan sepeda itulah yang mereka bawa.

Aku masih ingat, Aki mempunyai sebuah kebun yang tidak begitu besar yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami dulu. Aki selalu mengajakku ke  kebun dengan menggendongku di punggungnya, Aku pun pasti berkeringat setelahnya karena aku cukup bongsor untuk anak seusiaku dulu. Tugasku di kebun adalah memberi makan ayam, sementara Aki memeriksa pohon-pohon cengkeh yang ada di sana. Menjelang siang hari Nini pasti datang membawakan makan untuk kami.

Aki berperawakan tinggi besar, tangannya pun besar, aku biasa ber gantung di lengannya jika aki sedang berada di halaman. Aku selalu iri pada burung-burungnya yang setiap hari di perhatikan Aki. Karena itu aku selalu bergantung di lengannya untuk mengganggu Aki, mengalihkan perhatian Aki dari burung dan bermain bersamaku.

Makanan kesukaan Aki adalah asrah sampeu di kalapaan, yaitu serutan singkong yang si kukus dan ditaburi parutan kelapa. Hampir setiap sore Nini menyediakan asrahsampeu bersama teh dalam bekong loreng atau mug kaleng besar bertutup milik Aki.

Pohon jambu air di halaman rumah pun menjadi tempat bermainku bersama Aki. Batang pohon yang lebarnya sudah melampaui lebar badanku waktu itu menjadi markas jika ibu atau ayah mencari untuk menyuruhku mandi. Aku akan dengan cepat naik ke benteng yang ada di bawah pohon dan melompat naik ke atas pohon jambu untuk bersembunyi. Aki yang mengajarkanku memanjat pohon.

“Anak perempuan juga harus bisa manjat pohon, tuh Nini waktu muda bisa nerekel kana tatangkalan, makanya Nini dan Aki sering lolos dari kejaran tentara belanda.” Itu ucapan Aki ketika meyakinkan aku untuk tidak takut memanjat pohon. Dan ibu lah yang paling sewot ketika mengetahui Aki mengajarkan anak perempuannya memanjat pohon.

Aki meninggal ketika aku masih berada di sekolah, Ayah menjemput dan membawaku pulang sebelum waktunya. Aku tidak tidak tahu kenapa ayah menjemputku. Sesampainya di rumah kulihat rumahbegitu ramai, suara orang mengaji bergema, terdengar juga suara tangisan Ibu dan Nini. Aku lihat juga beberapa dari paman dan bibi berada di rumah. Aku masih belum mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah.

Ibu langsung memeluk ketika melihatku, mata merah dan mukanya basah, ibu baru saja menangis. Kulihat Nini menyeka ari mata dan memegang Al-Qur’an, Nini sedang mengaji. Kemudian pandanganku tertuju pada kain batik yang menutup sesuatu di hadapanNini dan beberapa orang yang sedang mengaji.

“Aki tos pupus, Teh” Teteh sabar ya, doakeun Aki.” ucap ibu mencium kening dan memelukku. Ibu mengambil tas sekolahku dan membawa aku ke kamar, sebenarnya aku ingin segera memeluk Nini dan melihat janazah aki waktu itu, tapi ibu menyimpan dulu tas dan mengganti seragamku. Ibu bilang sebentar lagi kita akan memakamkan Aki.

Pagi hari sebelumnya, aku berangkat ke sekolah dengan gembira, Aki sudah pulang dari rumah sakit, Aki sudah bisa mengantarku ke sekolah walau sampai halaman rumah saja. Biasanya Aki mengantarku dengan sepeda ontelnya, tapi karena aki sakit, aku berangkat sekolah di antar ayah sekalian berangkat kerja.

“Hari minggu nanti Aki belikan sepeda ya Teh, Aki sudah tidak kuat bonceng teteh lagi, teteh sudah besar, badannya sudah tinggi.” ucap Aki sebelum aku berangkat sekolah, aku mencium tangan Aki dan aki mencium keningku seperti biasa, Aku berangkat sekolah dengan gembira. Aku tidak mengira bahwa ucapan itu adalah percakapanku dengan Aki yang terakhir. Aku tidak pernah lagi bisa mendengar suara Aki.

Aku hampir tidak mengingat perjalanan kami menuju tempat terakhir Aki karena sepanjang jalan banyak orang memeluk dan menciumku, mengucapan bela sungkawa. Mereka tahu aku adalah cucu kesayangan Aki, Aki selalu mendampingi kemana pun Aku pergi. Yang aku tahu saat itu adalah ketika jenazah Aki masuk kedalam liang lahat aku tak akan pernah melihatnya lagi.

Sejak saat itu, Nini yang menemani aku atau lebih tepat disebut aku yang menemani Nini. Aku sayang sekali pada Nini, aku tidak mau Nini sedih setelah kepergian Aki. Nini tidak pernah menampakan kesedihannya di depan semua orang, tapi Nini sering memberi nasehat persis seperti apa yang di katakan Aki semasa hidupnya. Nini pun sering terlihat terisak ketika menceritakan Aki. Tapi untunglah Nini adalah wanita yang tegar Nini tidak terlalu lama berduka, dan Nini pun sudah mulai kembali ke kegiatan sehari-hari bersamaku, tapi kali ini tanpa Aki di antara kami.

Beberapa bulan setelah kematian Aki, aku pun sudah akan naik kelas pada waktu itu. Pada suatu hari sepulang sekolah, aku mendapati sebuah sepeda di halaman rumah. Aku menebak-nebak siapa pemilik sepeda ini, tampaknya sepeda baru. Aku pun berlari mencari ibu di dalam rumah dan menanyakan milik siapakah sepeda itu.

“Itu sepeda teteh dari Aki.” jawab Nini.

“Buat teteh, Ni? Dari Aki?” Aku bertanya pada Nini.

“Teteh suka?” Nini balik bertanya.

“Suka Ni, terima kasih!” aku memeluk Nini dengan gembira. Walau saat itu aku belum paham tentang ‘ini sepeda dari Aki’.

“Teteh ganti baju dulu terus, makan siang, baru coba sepedanya ya.” Ibu memintaku segera mengganti seragam yang masih kukenakan.

Sepeda mini berwarna hitam, selera warnaku sama dengan Aki, kami suka warna hitam. Sepeda dilengkapi dengan dua roda bantuan di belakangnya, aku memang belum lancar mengendarai sepeda waktu itu. Sempat terlintas di benakku, andai saja Aki masih ada, pastilah saat ini aku sedang berlatih dengan Aki, dan kami akan main sepeda bersama setiap hari. Aku dengansepeda baruku dan Aki dengan sepeda ontelnya.

Tiba-tiba saja aku teringat akan sepeda aki yang biasa terparkir di samping teras tempat Aki ngopi. Aku tinggalkan sejenak sepeda baru dan berlari ke tempat sepeda Aki biasa berada namun aku tidak melihatnya. Aku berputar keliling rumah dan halaman, tetap sepeda Aki tidak di temukan.

“Ibu... Nini... sepeda aki hilang!!” teriakku spontan.

“Ada apa, Teteh! Tenang, pelan-pelan bicaranya!” ibu berusaha menenangkan aku.

“Sepeda Aki nggak ada, sepeda Aki ilang...!” jawabku masih sedikit terengah.

“Ayo duduk sini, tenang dulu dong. Dengar, sepeda Aki tidak hilang, sepeda Aki sudah ada yang merawat. Sekarang kan sudah ada sepeda baru di rumah ini. Ibu bisa minta tolong Teteh ke warung pakai sepeda itu supaya Teteh tidak cape.” jelas Ibu.

“Dirawat sama siapa bu sepeda Aki, dijual ya?” tanyaku mendesak ibu.

“Iya... Mang Ayi penjual sayur tadi datang kemari, menawar sepeda Aki untuk dipakainya berbelanja ke pasar. Nini setuju, karena kalo dibiarkan tidak terawatt sepedanya bisa rusak. Ayah kan tidak pernah pakai sepeda, ayah pakai motor ke kantor.” Ibu menjelaskan sekali lagi dengan hati-hati, ibu tidak mau membuatku sedih sepertinya.

‘Nah, uang penjualan sepeda Aki dibelikan sepedah untuk Teteh, seperti keinginan Aki sebelum meninggal.” Nini mendukung penjelasan ibu, dan akhirnya aku pun bisa menerima. Lagi pula aku masih bisa melihat sepeda Aki setiap hari di tempat Mang Ayi.

Aku kembali pada sepeda baruku. Aku sangant menyayangi sepeda ini dan ku namai ‘Tiger’ seperti sepeda ontel milik Aki. Aki begitu menyukai nama Tiger, Aki selalu bilang “Kita harus kuat dan mandiri seperti Tiger.”

Sampai saat ini si ‘Tiger’ masih tetap aku simpan dan kedua anakku memakainya. Tak pernah habis ceritaku tentang Aki dan Nini pada anak-anakku. Dan mereka pun memiliki kenamgan tersendiri bersama Nenek dan Kakeknya, yaitu Ibu dan Ayahku yang sangat menyayangi cucu-cucunya.

Nini pun akhirnya dipanggil yang maha kuasa tepat 20 tahun setelah kepergian Aki. Semoga meraka mendapat tempat paling indah di sisi Allah SWT. Aamiin.





Comments

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna