ANTARA ULAT, AMPLOP, DAN GAWAI BERMERK ALCATEL (part 1)
Tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto lama di antara tumpukan buku-buku lama yang akan kusimpan di gudang. Foto enam orang mahasiswa tingkat pertama, dekil, dengan papan nama dari kardus bekas segede papan nama kelurahan, topi dari bola plastik, dan tas kersek sampah yang selalu nyantol di pundak selama kegiatan. Ini foto ketika kita melaksanakan orientasi sebagai mahasiswa baru, itu sekitar tujuh belas tahun lalu.
Baris belakang, berdiri. Voni, cewek tinggi langsing, rambut cepak, kacamata tebal yang lebih mirip pantat botol dari pada kacamata. Yudi, satu-satunya cowok dalam foto, berambut kribo, kulit gelap tidak terkira untuk ukuran orang Indonesia, tapi giginya paling bersih dan tertata rapi. Rani, cewek berambut ikal sepundak, gugupan, paling ga PD kalo diliatin cowok, tapi ganjennya minta ampun kalo lewat tempat photocopy-an Bang Romi.
Baris depan, duduk. Nurma, cewek paling kalem cenderung jaim, ngomong selalu diatur pake bahasa asing biar tampak intelek, tapi kadang jadinya aneh dengan logat sunda yang kental dan naik turun. Aku, Riane, di tengah paling chubby di foto tapi paling foto genic dari semuanya, setidaknya itu harapanku. Satu lagi, cewek yang duduk di sebelah kiriku, ah males... sebut saja dia Mawar berduri tajam, setajam silet.
Aku tersenyum, mengingat segala polah yang pernah kita lakukan bersama dulu. Pohon katapang di belakang pos satpam yang kadang penuh ulat, adalah tempat paling strategi yang kita kuasai, kita dan si Gino tukang baso malang favorit kita semua. Bukan karena rasanya yang super enak, tapi baso Gino laris karena itu jajanan yang paling terjangkau. Dengan lima ribu perak saja bisa menahan lapar hingga 6 SKS, dan yang pasti kita boleh ngutang.
Aku dan Voni adalah penyiar di radio kampus, diikuti Yudi menyusul melalui audisi penyiar untuk acara Disharmony Orchestra. Ini membuat kita bertiga lebih dikenal dari pada Rani, Nurma, dan Mawar.
Penggemar beratku Ano Karno dan Parkit Pirang, entah siapa nama mereka sebenarnya. Mereka adalah dua calo angkot yang tiap kali aku siaran, selalu mengirim amplop berisi puisi yang terselip di antara lembaran-lembaran kertas request. Yang menjadi keuntunganku digemari oleh mereka berdua adalah, kerap kali aku naik angkot dengan gratis. Mereka akan mengancam supir yang berani meminta ongkos dariku. Kadang aku rindu jika tidak melihat mereka, terutama ketika aku akan naik angkot.
Penggemar Voni adalah para penghuni gedung sebelah, markas Mapala. Body Voni yang semampai dengan rambut cepak, selalu membuat ia tampak sexy. Ia rela melepas kacamata botolnya demi tampil sempurna ketika kita jalan di depan markas Mapala, tidak peduli dia akan terantuk batu atau menubruk tiang di parkiran motor depan gedung. Dan selalu aku yangharus berpura-pura bercanda riang dengan tanggannya di lenganku, padahal Voni memintaku menggandengnya.
Dan Yudi, penggemarnya selain anak-anak bergaya punk, cewek-cewek Akper, dan para penjaga kantin, ternyata ibu-ibu kost dan pemilik wartel pun sangat lengket dengannya. Hal itu disebabkan dia pernah menggantikan Bang Abdul siaran program dangdut, padahal gayanya sudah sangat “Jimmy Hendrik”.
Kedekatan kami berawal dari tugas yang diberikan saat orientasi. Sebentar aku ingat-ingat dulu, rasanya sedikit lupa, tugas apa yang membuat kita ber-enam menjadi sangat dekat.
“Ah... Sebaiknya kubereskan saja dulu buku-buku ini, setelah beres aku akan shoot dengan gawai dan kukirim pada mereka. Sepertinya akan seru...”
Bersambung ya ....
Cakep....lanjutin mbak.
ReplyDelete😘🙏
DeleteOhhh mas2 angkot... 😁
ReplyDeleteMau dikenalin Uni?
Deleteninggalin jejak ajah yaah...
ReplyDeletewinarto sabdo
DeleteThank you kakanda...ng 👍😁
DeleteKeren. Nganga aja bacanya mbak
ReplyDeleteHihi... kebayang deh baca sambil nganga 👍😁
Delete