KISAH KECIL DI PULAU BUNGIN

sumber foto : detikcom


Sudah beberapa hari ini kata “Bungin” sering aku dengar.
 “Udah deh Bungin aja...”
“Semua setuju Bungin, deal ya...”
“Bro, inget ya, Bungin minggu depan...”

Nama yang asing di telingaku, mahluk seperti apakah si Bungin ini sampai semua anak di sekolahku menyebutnya dengan penuh semangat. Satu-satunya yang terlintas di kepalaku ketika mendengar kata ini adalah Bungin itu kependekan dari “buang angin”. Dan semua temanku tertawa ketika aku mengutarakan hal ini.

“Udah deh jangan banyak nanya, packing yang bener ya, kita berangkat  ke Bungin.” Seru Rafi mendorongku keluar kelas.

“Oh, jadi minggu depan kita backpacker-an ke sono ya, dimana tuh Bungin? Bukannya kita mau ke Bali?” aku menahan Rafi yang terus mendorongku di depan kelas.

“Udah ikut aja, terlalu main stream jalan-jalan ke Bali, sekali-kali dong cari suasana lain. Masih deket-deket Bali kok.” Rafi terus meyakinkan aku untuk ikut mengisi liburan semesteran ini dengan back packing ke pulau Bungin. Dia bilang tempatnya unik dan memintaku untuk membawa jaket dan pakaian hangat yang cukup, “... biar lu gak masuk angin di sono, kita kan mau nyebrang laut.” begitu katanya.

Waktu liburpun tiba, tepat pada pukul 15.30 waktu Indonesia tengah kami tiba di bandara Brangbiji atau lebih di kenal dengan Bandara Sultan Muhamad Kaharudin III, Sumbawa, NTB. Sebuah mobil bak sudah menunggu kita untuk mengantar ke tempat tujuan pertama kita yaitu sebuah restoran terapung yang katanya  menyediakan hidangan dari 14 jenis ikan yang berbeda.

Lokasi restoran apung ini persis berada di dermaga satu Desa Pulau Bungin. Aku kira perjalanan ini darat ini akan membosankan, mengingat hari sudah sore, pastilah sudah tidak terlalu banyak kegiatan di pulau sekecil ini.

Ternyata sebaliknya, suasana alam yang sangat luar biasa kurasakan, pemandangan laut di satu sisi, mampu membuatku terpana. Disisi lain pemandangan yang cukup unik terlihat, padatnya perumahan penduduk yang unik. Banyak rumah di sini dibangun di atas laut, dengan mereklamasi pantai dengan menggunakanpecahan batu karang sebagai pondasinya.

Warna langit yang mulai memerah, berpadu dengan hamparan laut yang sangat tenang. Jalan yang dilewati masih berupa jalan tanah yang berdebu, kadang mobil pun terguncang keras karena jalan yang tidak rata dan bebatuan yang lumayan besar.

Aku begitu menikmati pemandangan yang kita lalui, tapi dalam hati akupun mengutuk Rafi yang memintaku untuk memakai baju tebal dan jaket, begitu juga semua baju dalam tas yang aku persiapkan untuk dipakai di pegunungan. Aku merasa bodoh, kenapa aku tidak browsing dulu mencari informasi tentang tempat ini, yang aku tahu hanyalah tentang pulau ini dinyatakan sebagai pulau terpadat di sunia.

“Besok kita snorkeling, Bro. Asik nih, katanya pemandangan di bawah oke banget.”

Tak lama kitapun sampai di restaurant yang sedari tadi Rafi bicarakan. Beberapa teman langsung menyerbu masuk, beberapa hidangan sudah tersedia, karena kami memesan terlebih dahulu melalui telpon sebelum sampai disini.

“Mbak, saya minta sate kambing 1 porsi ya, bumbu kecap aja.” Aku memesan menu selain ikan-ikan yang sudah terhidang. Aku memang lebih menyukai daging dari pada ikan, walaupun begitu, saat ini aku akan makan keduanya.

“Yakin, Bil, elu mau makan sate juga?” tanya Rafi ketika sepiring sate muncul di hadapanku. Ku santap tanpa menghiraukan Rafi yang melongo, aku terlalu lapar.

“Enak nih, Fi, coba deh!” kusodorkan pering sate ke arah Rafi, dia menolak sambil nyengir.
Usai makan, penginapan di sekitar restoran menjadi tujuan terakhir hari ini. Kita akan beristirahat dan melanjutkan kegiatan, kita akan berkeliling kampung besok.

***

Suara hanyaman benda keras yang bertubi-tubi membangunkanku. Aku intip ke luar jendela, terlihat beberapa lelaki sedang memecah karang dengan menggunakan linggis dan palu besar. Ini mungkin yang diceritakan restoran malam tadi, bahwa sudah menjadi kebiasaan para lelaki di sini memecah karang untuk di jual sebagai bahan pondasi pembuatan rumah. Satu perahu mereka jual karang seharga lima puluh ribu saja.

Tidak terlihat para perempuan, katanya pagi hari seperti ini mereka memasak di dapur yang biasa terletak di bagian bawah rumahnya.

Aku bergegas menyusul teman-temanku yang sudah siap terlebih dahulu. Tadinya aku tidak akan mandi, “kita kan mau snorkeling” pikirku. Tapi akhirnya aku mandi juga mengingat udara disini sangat panas.

Kami berjalan menyusuri kampung, kuliner pagi khas Bunginadalah sasaran kami. Kurang afdol rasanya jika kita belum merasakan makanan khas setempat. Hampir semua tertarik dengan makanan Jaje Tunjak Lapis Poeteng, makanan yang terbuat dari ketan dan parutan kelapa yang dikukus dengan diberi sedikit garam. Dan Poeng sendiri terbuat dari tape ketan yang  pada prosesnya digabung dengan perasan daun seger.

Aku sendiri tertarik dengan Sate Bulayakyaitu sate sapi lokal yang di beri bumbu rempah yang khas dan bumbu kacang yang juga khas. Lagi-lagi rafi tersenyum sedikit bergidik melihatku memakan sate. Memang aneh dia sejak semalam.

“Ada apa sih, Fi? Dari malem ngetawain gue mulu?” tanya ku sambil berjalan menyusuri kampung.

“Ah nggak, cuma lucu aja liat  lu doyan banget makan sate, pantes aja badan lu gede.” Kami sama-sama tertawa dengan penjelasan Rafi.

Ada satu hal yang aneh ketika aku melalui salah satu sudut di kampung ini. aku melihat beberapa orang anak sedang menggembala kambing. Kambingnya cukup banyak, tapi tidak sedikitpun aku lihat hamparan rumput pakan kambing di sini.

Tiba-tiba aku melihat seorang anak menyodorkan sobekan ke arah mulut kambing, dan dengan segera si kambing mengunyah sampai habis.aku penasaran dan mendekatuntuk memastikan apa yang ku lihat. Hey..., ternyata benar, semua kambing-kambing disini memakan kardus, juga plastik... “WoW!” . Tidak hanya yang di sodorkan penggembala, tapi kadrus dan plastik dari tumpukan sampah pun mereka makan.

Aku tertegun melihat apa yang terjadi, rasanya ini mulut nganga terbuka karena terkejut. Sementara RRafi mulai tersenyum mencurigakan. Melihat aku gelisah, dia malah tertawa keras. Aku sedang membayangkan sate-sate yang aku makan tadi malam. Apakah sate itu berasal dari salah satu kambing yang makan kardus dan plastik ini?

“Fi.... Rafi!” aku pukul lengan rafi yang mulai terbahak-bahak melihatku.

“Fi... “ aku tidakbisa berkata-kata, hanya lenganku yang sepertinya melayang menunjuk ke arak kambing-kambing itu, sambil terus memanggil-manggil Rafi, “Fi... itu Fi, kambing makan kardus, Fi.”

“Hahaha... Iya, elu tadi malem makan kambing daur ulang, enak ‘kan?” Rafi tertawa semakin keras dan berlari menjauh meninggalkan aku yang masih menatap kambing-kambing yang sedang makan kardus dan plastik.  

****

Comments

Popular posts from this blog

LEGENDA, Asal Usul Telaga Warna